Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Powered by Blogger

September 25, 2010

Oleh-oleh Mudik (4): Mesjid Agung Demak


Salah satu peninggalan sejarah Islam di Jawa Tengah yang sangat berharga dan terkenal adalah Mesjid Agung Demak di kota Demak. Didirikan pada abad 15, sampai kini mesjid tersebut masih berdiri kokoh, dan menjadi satu objek wisata religi yang banyak dikunjungi para peziarah serta wisatawan.
Mesjid yang merupakan salah satu mesjid tertua di Pulau Jawa ini, disebut mesjid-nya para Wali karena pembangunannya, konon, melibatkan seluruh wali dari Walisongo yang ada!

Kami sekeluarga, pada libur lebaran kemarin, sebelum berangkat dari Semarang ke Yogya, menyempatkan terlebih dahulu berkunjung ke mesjid ini. Tinggal mengikuti Jalan Raya Semarang – Demak dari tempat tinggal kakek neneknya anak-anak di daerah Genuk, kita bisa membesut kendaraan kita dengan cukup cepat dan nyaman karena jalan jalur pantura tersebut sudah memenuhi standar pantura dengan 2 jalur yang dipisahkan median di tengahnya dengan aspal yang masih terhitung mulus. Berada di depan alun-alun Kota Demak, mesjid tersebut bisa kami capai sekitar 30 menit dari perbatasan Semarang - Demak.

Tiba di lokasi mesjid yang berada di sisi barat alun-alun, kita bisa memarkir kendaraan di pinggir jalan tidak jauh dari mesjid. Begitu kendaraan kami mendekat, sudah ada tukang parkir yang menyambut kita. Dari tempat kita parkir saja, sudah terasa keramaiannya dengan banyaknya tenda-tenda dan gerobak pedagang yang bertebaran di depan pagar mesjid.
Pada saat masuk halaman mesjid, ada seorang bapak-bapak yang menyambut saya -- anak-anak dan istri saya sudah masuk terlebih dahulu -- dan menunjukkan tempat untuk menaruh sandal, lalu setelah itu dia mengulurkan tangan memberikan sebuah buku berukuran kecil. Buku apa ya? Oooh...ternyata buku tentang sejarah mesjid tersebut.

Jika anda mengalami seperti saya, ditawari buku pada saat baru masuk halaman mesjid, silakan diambil jika anda berniat memberi bapak tersebut sejumlah uang. Namun jika anda tidak mau memberinya, lebih baik ditolak saja dengan halus, karena biasanya mereka agak memaksa.
Kalau kita bermaksud menyumbang infaq/shodaqoh, di beberapa tempat dalam mesjid terdapat kotak infaq. Yang itu, pasti pengelolaannya di bawah tanggung jawab DKM.

Bangunan Mesjid Agung Demak itu terlihat megah, artistik, terkesan antik dan terlihat nilai historisnya. Atapnya berbentuk undakan yang khas arsitektur asli Indonesia. Bentuk limas dengan 3 undakan itu, katanya, melambangkan Iman, Islam dan Ihsan. Sementara di sebelah kanan bangunan mesjid terdapat bangunan lain yang merupakan museum berisikan benda-benda bersejarah yang terkait dengan mesjid ini. Di antara bangunan mesjid dan museum, ada gerbang menuju ke halaman belakang. Di belakang, adalah kompleks makam raja-raja dari kesultanan Demak dulu.

Teras mesjid yang cukup luas dinaungi atap sehingga menjadi berupa sebuah bangsal. Teduh terasa, dan lantai keramik yang dingin menjadikan kita cukup nyaman untuk duduk-duduk istirahat di sana, bahkan ada yang berbaring. Apalagi bagi pengunjung yang berasal dari tempat jauh!

Suasana di bangsal depan mesjid, banyak pengunjung duduk-duduk beristirahat bahkan tiduran untuk melepas lelah.

Beduk yang berada di bangsal

Pintu tengah/utama dari mesjid ini, di atasnya terdapat bentuk mangkuk (?) bertuliskan huruf Jawa (ada yang bisa baca?)


Di dalam mesjid, terdapat tiang pilar utama berjumlah empat yang menopang atap berundak tadi, berupa kayu jati bulat utuh yang disebut sokoguru. Ini tidak asli, sudah berganti dari aslinya. Yang aslinya, katanya, berupa kayu-kayu kecil diikat menjadi satu dan diberdirikan sebagai tiang. Dan yang menberdirikannya adalah para wali sendiri, ada 4 orang wali. Dengan kokohnya, selama ratusan tahun menyangga atap mesjid, hingga pada tahun 1980-an diganti dengan tiang baru, karena keropos termakan usia.
Kini, tiang kayu lamanya masih ada dan ditaruh di museum di samping mesjid. Sementara, sokoguru yang baru pun terlihat sangat kokoh dan bisa kita saksikan pada saat kita berada di dalam mesjid. Mudah-mudahan, mereka pun sanggup bertugas selama ratusan tahun, seperti halnya sokoguru yang asli.

Keempat soko guru penopang atap mesjid. Satu sokoguru, saya ambil fotonya dari lantai hingga ke atap. Benar-benar kokoh!


Di halaman mesjid, kita bisa mendapatkan sebuah jam yang memanfaatkan matahari sebagai penunjuk waktunya. Termasuk juga arah kiblat bisa ditentukan lewat jam ini. Namun, tidak ada keterangan, kapan jam matahari ini dibuat. Anak-anak merasa senang, karena selama ini mengenal jam matahari hanya lewat buku atau majalah. Kali ini mereka bisa melihatnya langsung.

Jam matahari dan penunjuk arah kiblat. Sasha anak saya berusaha membaca jam berapa saat itu.
Tidak jauh dari jam matahari tersebut, ada sebuah area berpagar dengan papan nama bertuliskan "Situs Kolam Wudlu". Mungkin dulunya orang-orang yang bermaksud sholat di mesjid, mengambil air wudlu-nya di kolam ini ya!

Situs kolam wudhu. Namun sudah tidak dipakai lagi.

Berhubung kami mengejar waktu untuk bisa bertemu dengan saudara di kota Kudus, kami tidak sempat untuk masuk ke dalam museum-nya. (Sekitar sepuluh tahun yang lalu saya pernah juga berkunjung ke sana, museum tersebut tampak sangat sederhana, meskipun benda-benda yang disimpannya bernilai sejarah sangat tinggi).
Namun, dengan kunjungan yang singkat ini kami sudah bisa memberikan pengalaman nyata kepada anak-anak, Andra dan Sasha, untuk mengenal lebih dekat Mesjid Agung Demak, sebagai salah satu hasil karya umat Islam dulu di Indonesia, yang selama ini hanya mereka baca dan lihat di buku pelajaran mereka.

Sayangnya, mesjid ini, seperti tempat-tempat bersejarah lain di Indonesia, terlalu dibebani keharusan mensejahterakan masyarakat sekitarnya. Keberadaan tenda-tenda para pedagang makanan-minuman dan cindera mata di depan mesjid, telah mengurangi nilai historis dan religius mesjid. Berkesan semrawut, tidak teratur dan keindahan serta kemegahannya tidak terlihat dari tengah alun-alun.
Kalau pedagang-pedagang itu diusir, tentunya mereka akan protes dengan alasan pemerintah kabupaten tidak melindungi para pedagang kecil. Tidak diusir, ya...seperti yang saya bilang. Serba salah ya?

Penuh kendaraan parkir dan tenda-tenda pedagang. Bandingkan dengan foto di sebelah kanan! (foto saya copy dari website Pemkab Demak)


Kalau saja tempat parkir kendaraan para pengunjung dan para pedagang itu bisa dikelola dengan lebih baik ...(CP Sept 2010)





September 23, 2010

Oleh-oleh Mudik (3A): Melihat Kota Semarang dari Atas Menara

 
Pada saat berkunjung ke Mesjid Agung Jawa Tengah, kami berkesempatan menaiki Menara Asma'ul Husna atau Al Husna Tower hingga lantai tertinggi, yaitu lantai 19 yang disebut lantai pandang. Beruntung, pada saat kami mendekat pintu gerbang masuk tower, antrian pengunjung yang bermaksud masuk tidak begitu panjang sehingga kami tidak perlu lama mengantri untuk mendapatkan tiket, dengan harga 5000 rupiah per orang, dan mendapatkan giliran masuk ke dalam elevator yang tersedia. Wah, elevatornya paling muat untuk sekitar 12 orang, sehingga terbayang jika antrian pengunjung panjang kita akan cukup lama mendapatkan giliran.

Suasana di depan menara. Ada tenda untuk menaungi orang yang antri tiket dan masuk.
 

Orang-orang (Ibu-ibu pakai kebaya tuh!) memasuki elevator untuk naik ke puncak menara

Elevatornya ternyata dioperasikan oleh seorang operator, yang secara langsung mengarahkan kami penumpang elevator ke lantai 19, di mana terdapat lantai pandang berupa anjungan untuk melihat pemandangan di bawah menara. Lucu juga, tombol pilihan lantai pada panel elevator tersebut hanya ada 5 buah! Karena memang menara tersebut hanya memiliki 5 lantai. Nomor 1,2,3,18 dan 19 saja!

Si operator bilang, nanti kalau turun sebaiknya ke lantai 3 dulu, supaya kami bisa terlebih dahulu mengunjungi museum di lantai 3 dan lantai 2. Dari lantai 3 cukup menggunakan tangga ke lantai 2 dan kembali ke lantai satu juga masih menggunakan tangga. Oooh...begitu ya!

Begitu elevator berhenti, pintu terbuka, para penumpang elevator berhamburan ke luar, termasuk Andra dan Sasha yang paling dulu keluar karena mereka berdiri tepat di depan bukaan pintu elevator. Ceria sekali mereka kelihatannya!
Woww....tinggi juga nih tower ini. Pandangan kami bisa jauuuh...ke depan. Semua yang di bawah bisa terlihat.

Terasa angin bertiup kencang menerpa kami. Sekeliling anjungan tersebut adalah pagar stainless yang cukup tinggi. Iyalah, pagar sangat diperlukan supaya lantai pandang tersebut aman apalagi banyak anak-anak yang ikut naik ke sini, supaya tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, atau juga supaya tower itu tidak disalahgunakan oleh orang yang putus asa yang ikut menyelusup naik...:)

Andra dan Sasha, di belakangnya pemandangan kota Semarang

Anak-anak tampak bergembira dan takjub melihat pemandangan di bawah sana. Kompleks Mesjid Agung Jawa Tengah (MAJT) bisa terlihat utuh, lalu bahkan hampir seluruh bagian kota Semarang bisa terlihat sini. Bahkan, pelabuhan Tanjung Mas dan laut pun terlihat, meskipun samar-samar. Andra dan Sasha berinisiatif, mereka menukar uang 5 ribuan mereka dengan koin 500an di tempat penukaran koin yang disediakan. Akhirnya mereka memanfaatkan teropong yang tersedia di sana untuk melihat dengan lebih jelas pemandangan kota Semarang. 500 perak untuk 1 menit pemakaian. Cukup murah!
Lumayan, dengan teropong tersebut, kita bisa melihat lebih jelas objek yang mau kita lihat.


Dengan antusias anak-anak mengamati pemandangan nun jauh di bawah sana dengan teropong.

Lihat saja objek2 yang bisa dilihat!


Atap mesjid utama dengan latar belakang kota Semarang di kejauhan


Pusat keramaian kota Semarang, kawasan Simpang Lima

 Bahkan pelabuhan Tanjung Mas pun terlihat! Samar-samar Laut Jawa di belakangnya.

Setelah anak-anak merasa puas melihat-lihat dan meneropong di lantai 19 itu, juga saya telah selesai mengambil gambar-gambar pemandangan yang menarik, kami pun kembali masuk elevator. Kami turun ke lantai 18, yang di sana ada rumah makan/resto Kampoeng Menara yang menu andalannya bakso kotak. Makan bakso dulu sambil menikmati pemandangan di bawah dari balik kaca jendela resto. Seperti yang sudah saya ceritakan di posting sebelumnya.



Resto Kampoeng Menara, lokasi eksklusif harga standar!

Singkat kata, selesai makan, kami turun ke lantai 3. Benar, ternyata memang ada museum yang cukup menarik untuk dikunjungi, Museum Perkembangan Islam di Jawa Tengah.

Ini di bagian luarnya!

Tulisan di atas pintu dan bentuk pintu yang berhiaskan ornamen tradisional Jawa, masuk ke dalam museum di lantai 3 tersebut.

Seperti apa di dalamnya? Ada Al Qur'an raksasa, ada Al Qur'an dengan tulisan tangan, dan objek-objek bersejarah serta bernilai lain yang berhubungan dengan perkembangan Islam di Jawa Tengah maupun di Indonesia.

Lukisan relief dari tembaga
Suasana di dalam museum

Sayangnya, belum puas kami melihat-lihat keseluruhan isi museum di lantai 3, petugas memberitahu bahwa waktu istirahat (pukul 11.30) segera tiba, jadi kami harus segera meninggalkan ruangan. Wah, sayang banget tuh!
Turun ke lantai 2 pun, sama, museum yang di lantai 2 segera tutup untuk istirahat. Yaaaakh.....! Sudah deh, kita keluar saja. Lagipula sudah mau tiba waktunya sholat Dhuhur!


Menuruni tangga dari lantai 3 ke lantai 2

Jika anda datang ke Mesjid Agung Jawa Tengah, tidak akan lengkap rasanya kalau anda tidak naik ke puncak Menara Asma'ul Husna atau disebut pula Al Husna Tower. Bener deh, nggak akan menyesal!

September 19, 2010

Oleh-oleh Mudik (3): Mesjid Termegah di Indonesia

Di hari terakhir mudik sebelum pulang kembali ke Cikarang, kami sekeluarga menyempatkan diri mengunjungi untuk kedua kalinya mesjid yang merupakan kebanggaan warga kota Semarang dan juga masyarakat Jawa Tengah pada umumnya, yaitu Mesjid Agung Jawa Tengah (MAJT) yang berada di daerah Gayamsari. Masih kurang puas nih pada kunjungan pertama, kami belum melihat keseluruhan seperti apa mesjid ini. Juga karena pada kunjungan pertama sekitar 3 tahun yang lalu, saya tidak membawa kamera untuk mengabadikan pemandangan yang ada di sekitar mesjid ini. Sekarang? Senjata sudah dibawa nih!

Kalau dulu kami berkunjung pada malam hari, kali ini siang hari pada saat matahari bersinar terik. Masjid ini masih terlihat indah dan megah, meskipun tidak ada hiasan nyala lampu-lampu yang mempercantik dan memperanggun penampilan mesjid seperti di malam hari, namun di siang hari kami bisa melihat secara utuh dan jelas semua bagian bangunan mesjid. Dengan desain bangunan beratmosfir gabungan seni arsitektur Jawa, Timur Tengah dan Romawi/Yunani, mesjid ini terlihat sangat megah sehingga tidak berlebihan jika mesjid ini kita juluki sebagai salah satu mesjid termegah di Indonesia.

Kompleks mesjid difoto dari atas Al Husna Tower, terlihat bangunan utama mesjid beserta 2 bangunan di sayap kiri dan kanan


Kompleks mesjid yang terdiri dari bangunan utama mesjid yang luas ditambah pelataran sangat luas tempat dilaksanakan sholat, terdapat pula beberapa bangunan pendukung lain, yang di antaranya auditorium (katanya sih disewakan) di sisi sayap kanan masjid, dan di sisi sayap kiri perpustakaan dan ruang perkantoran (yang juga disewakan untuk umum). Juga terdapat menara besar Al Husna Tower yang tingginya 99 meter yang di dalamnya terdapat museum tentang perkembangan Islam dan budaya Islam di Indonesia (kalau ini nanti saya ceritakan terpisah) dan gedung penginapan buat pengunjung yang bermaksud menginap di sekitar mesjid ini. Bangunan utamanya sendiri beratapkan kubah besar, dilengkapi di bagian luarnya empat minaret (menara) yang runcing menjulang ke langit. Arsitektur yang sangat bercorak Islam universal!


Kubah besar pada bangunan utama, dilengkapi 4 minaret pada sudut-sudutnya

Salah satu ciri khas MAJT ini adalah adanya 6 buah payung raksasa yang dapat digerakkan secara hidrolik untuk menaungi pelataran halaman mesjid pada saat pelaksanaan (biasanya) sholat Jumat. Setahu saya, baru mesjid ini yang memiliki payung raksasa seperti itu di Indonesia. Dan kata Pak Choirul teman saya, kelengkapan payung ini menyerupai apa yang ada di Mesjid Nabawi Madinah. Wah, berarti MAJT menjadi nomor 2 dong di dunia mesjid yang memiliki payung raksasa!
Satu hal lagi, teman saya yang lain Pak Eko SHP juga memberitahu, desain maupun pembuatan payung raksasa ini adalah oleh instansi tempat beliau bekerja, yaitu BUMN Konstruksi Waskita. Wuiih...mantap! Berarti payung raksasa ini adalah karya putera-puteri Indonesia, dan patut menjadi kebanggaan kita semua.
Mudah-mudahan segera dipatenkan agar desainnya tidak dicuri oleh pihak lain (misalnya oleh negara tetangga M*******, ...hmmm...).


Payung-payung bertenaga hidrolik yang berada di pelataran

Selain menjadi tempat ibadah yang merupakan terbesar di Jawa Tengah, mesjid ini pula dipersiapkan sebagai objek wisata religi, melengkapi objek-objek wisata religi lain di Jawa Tengah.
(Mudah-mudahan tidak sekedar indah dan megah ya, tapi benar-benar berfungsi sebagai pusat syiar agama Islam di Jawa Tengah! Juga harapan saya, keindahan dan kemegahan mesjid ini selalu terpelihara dengan baik. Masalahnya, orang kita seringnya bisa membangun tapi kurang bisa memelihara. Kita yang berkunjung pun harus turut memelihara keindahan dan kebersihan mesjid, baik di dalam maupun hingga ke luar mesjid. Buang sampah jangan sembarangan ya!).

Oh, ya, informasi tambahan. Mesjid ini dibangun mulai tahun 2001 dan selesai serta diresmikan oleh Presiden RI, Bapak SBY, pada tahun 2006.

Anda yang berkunjung ke kota Semarang, atau pun hanya sekedar melewati kota Semarang dalam perjalanan, sempatkanlah datang ke MAJT ini. Sungguh, anda akan mengagumi keindahan dan kemegahan mesjid ini. Foto-foto di sini, tidak cukup untuk bisa menggambarkannya.


Salam,
http://ceppi-prihadi.blogspot.com
http://harihari-ceppi.blogspot.com

Foto-foto yang lain:













Oleh-oleh Mudik (2): Makan Bakso di Lantai 18

Sukakah anda makan bakso?
Dari sejumlah orang yang saya berikan pertanyaan seperti itu, 90% menjawab: Suka!
Iyalah, memang bakso (plus mie) yang bahan utamanya adalah daging ditambah tepung ini (tapi banyak juga yang kebalik ya, lebih banyak tepungnya daripada dagingnya!), sudah menjadi makanan yang sangat populer bagi masyarakat Indonesia. Di mana-mana, di kota-kota, di kampung-kampung, di pelosok-pelosok ada orang yang menjual bakso dan banyak orang yang makan bakso. Begitulah saking memasyarakatnya makanan jenis ini.

Bakso! Benar-benar dikau disukai banyak orang, wanita dan laki-laki, kapan saja di mana saja.

Pernahkah anda makan bakso di ketinggian, di lantai 18? Dan sambil makan bakso, anda bisa melihat pemandangan indah, jauh di bawah anda?
Sebagian besar belum pernah kan?! ...hehehe...
(Tanya anda) Memangnya ada? ... Di mana dong?
(Pikir anda) Jangan-jangan di hotel berbintang atau restoran gedung tinggi di Jakarta. Dengan harga berbintang pula?
Waduh, berat di kantong dong!

He.he.he...ternyata makan bakso di lantai 18 tidaklah di hotel berbintang atau di restoran yang berada di gedung tinggi di Jakarta. Melainkan di sebuah menara, di kota Semarang!
Dan kabar gembiranya, harganya pun masih terjangkau-lah! Harga kita-kita!

(Anda penasaran) Aah...yang bohong? Bener nggak nih?

Bener banget! Ini pengalaman saya dan keluarga sewaktu mudik Lebaran kemarin di Semarang. Kami menyempatkan diri untuk mengunjungi Mesjid Agung Jawa Tengah (MAJT), yang beberapa tahun yang lalu pernah kami kunjungi. Dulu, kami belum sempat menaiki menara yang berada di mesjid itu karena saat itu rupanya orang yang mengantri untuk bisa naik sedang banyak sekali. Nah, saat kunjungan terakhir kemarin itu, kebetulan orang yang sedang mengantri sedikit, sehingga dengan sangat antusias kami sekeluarga masuk ke dalam antrian untuk bisa menaiki menara mesjid yang tingginya katanya 99 meter ini.

Di atas menara itu, di lantai 18, terdapat rumah makan yang menyajikan menu utama bakso. Bayangkan, satu-satunya rumah makan yang berada di menara tersebut! Jadi kita yang makan di rumah makan tersebut, pastilah merasa istimewa, karena jarang rumah makan, apalagi di sana kita cuma makan mie bakso, yang lokasinya berada di ketinggian seperti itu. Memberikan sensasi tersendiri!


Menara Mesjid Agung Jawa Tengah, dengan ketinggian 99 meter


Di sinilah lokasi rumah makan itu!

Terus, selain yang istimewa lokasinya, apalagi yang jadi kelebihan?
Rasa bakso-nya...jujur, saya bilang enak. Istri dan anak-anak saya juga menyatakan hal yang sama.
Harganya...sangat terjangkau! Dijamin deh! Sangat murah menurut saya, jika melihat lokasi rumah makan di sana yang tentunya bayar sewanya tidak murah.


Andra dan Sasha mejeng sebelum makan, di tengahnya daftar menu Kampoeng Menara beserta harganya. Lihat saja, nggak mahal kan?

Terus apalagi?
Ada!...Rumah makan itu bisa berputar! Jadi pada saat anda makan, pemandangan di bawah sana akan selalu berubah karena meja dan kursi tempat anda makan berada di atas sebuah piringan yang berputar. Hebat bukan?
Apalagi kalau pemandangan di malam hari, yang saya yakin akan lebih indah. Gemerlap kelap-kelip cahaya lampu di seantero kota Semarang yang eksotis, yang akan memberikan anda pemandangan dan pengalaman benar-benar luar biasa.


Sasha mejeng sebelum makan, dengan latar belakang pemandangan kota Semarang. Mantab bukan?

Jadi?
Kalau anda berkesempatan berkunjung ke Mesjid Agung Jawa Tengah, pastikan anda bisa menaiki menara mesjid, yang disebut Menara Asma'ul Husna (Eh, saya lupa memberi tahu...naik menara harus membeli tiket seharga 5000 rupiah per orang), dan jika anda lapar pada saat berada di atas menara, silakan mampir di rumah makan tersebut. Nama rumah makannya...Kampoeng Menara!

Baksonya enak, relatif murah...dan sensasinya itu lho! (CP, Sep 2010)


Bakso kotak, bakso andalan rumah makan ini


Si Andra sendiri menyatakan bahwa bakso yang dimakannya memang uenak


Salam kuliner,
http://ceppi-prihadi.blogspot.com
http://harihari-ceppi.blogspot.com

September 18, 2010

Oleh-oleh Mudik (1): Makan di (bukan warung) Tegal

Kalau mendengar kata "Tegal", apa yang langsung terbayang di dalam benak anda?
Haa...sama!
Pasti warteg kan? Warung Tegal yang menjual nasi dan lauk-pauknya lengkap dengan harga sangat terjangkau. Banyak terdapat di lingkungan sekitar kita, khususnya di daerah Jabodetabek.

Nah, kalau kita berada di kota Tegal, apakah kita akan menemukan warteg-warteg ini di seluruh penjuru kota?
Tentunya tidak. Karena katanya, kalau di kota asalnya nama warung makan dengan gaya warteg seperti di Jabodetabek ini, namanya bukan warteg lagi. Melainkan...apa ya? Yaa...warung nasi-lah!
(Sama halnya dengan rumah makan padang -- beda ya dengan rumah makan P.Adang, hehe... -- yang di Padangnya sono tidak ada sebutan rumah makan padang)

Sebagai catatan: sebenarnya saya pernah menemukan warteg di Tegal, hanya saja saya belum berkesempatan untuk mengambil fotonya sebagai bukti.

Kalo beggitoh…apa yang bisa kita makan pada saat kita berada di kota Tegal?

Pada saat perjalanan pulang dari mudik ke Semarang kemarin, saya dan keluarga sempat istirahat di kota Tegal. Berhubung sudah masuk waktunya makan malam, anak-anak juga sudah mulai "bernyanyi" karena kelaparan, kami berhenti di sebuah rumah makan yang terlihat agak ramai, dengan beberapa mobil parkir di depannya. Kata orang yang berpengalaman jalan-jalan, nyari tempat makan jangan cari yang sepi, karena kemungkinan besar makanannya kurang enak. Carilah rumah makan yang banyak pengunjungnya!
Masuk akal juga sih!



Sasha difoto dengan latar belakang papan nama rumah makan

Setelah memperhatikan lebih seksama, kami menyadari bahwa rumah makan ini bergaya Sunda. Namanya saja sudah Nyunda, "Sari Raos" dan ada embel-embelnya "Bandung" lagi, dengan menu utama ayam goreng. Dan memang, setelah kami berada di dalamnya, di atas setiap meja terlihat sekeranjang lalaban (orang Sunda bilangnya lalaban bukan lalapan) ciri khas rumah makan sunda. Dan sempat terdengar juga waiter (pramusaji)-nya bicara, kelihatan banget nyundanya euy!...hehehe...Ini mah namanya orang Dagal, alias orang Sunda di Tegal!

Dihadapkan pilihan tempat duduk, antara yang pakai kursi/bangku dengan yang lesehan, kami memilih lesehan, dengan alasan:
- Satu, ruangannya ada di dalam, dan ber-AC. Tidak kena asap dari dapur dan juga asap rokok para perokok juga.
- Dua, karena dengan posisi duduk lesehan, kami punya kesempatan untuk duduk selonjor yang hal ini tidak mungkin dilakukan jika duduk di atas kursi. Bahkan tiduran pun bisa! Apalagi dalam kondisi badan pegal-pegal setelah menempuh total 1200 km lebih!




Duduk lesehan, dengan pemandangan dinding berhiaskan gambar pepohonan bambu

Ayam goreng datang, masih panas-panas, pastinya terasa empuk digigitnya. Terus dipadu dengan nasi putih pulen hangat, ditambah lalaban dan sambal yang terdiri dari 2 macam, yang agak pedes dan yang pedes banget, akhirnya kami bersantap malam dengan nikmat. Maknyosss....
Alhamdulillah, masih bisa makan enak dalam perjalanan yang cukup melelahkan.

Harganya? Tidak terlalu mahal lah. Satu orang kena sekitar 25 ribuan untuk makanan (plus minum es jeruk) seperti itu, dan jangan lupa, untuk tempatnya juga yang cukup menyenangkan. (dibandingkan sewaktu berangkat, makan sate di Brebes di warung kakilima, masak nasi sepiring harganya Rp7500!)


Andra kekenyangan setelah nambah nasi sampai 3 kali!

Kesimpulannya, kalau anda kecapekan pas di Tegal sewaktu mudik, anda bisa istirahat dan makan, makannya tidak perlu di warung nasi (yang sebenarnya warteg) atau pun di tenda kaki lima yang harganya tidak pasti serta justru sering mahal dengan kualitas masakan ala kadarnya, tapi anda bisa makan di rumah makan sunda, dengan ayam goreng dan lalaban segar...Hmmm....nyam.nyam..nyam...
Contohnya di RM Sari Raos Bandung ini!


Lokasi rumah makan...di dekat baliho di atas ini, yang terbentang di atas jalan raya yang kita lewati dari arah Pemalang. Sugeng Rawuh! (si Sugeng tuh rupanya orang Tegal ya!...haha...)

Yang jelas...ini bukan iklan...saya hanya sekedar berbagi pengalaman.
Promosi mungkin iya, tapi tentunya yang saya promosikan adalah sesuatu yang saya suka. Anda mau coba?


Aslinya mana Mas?
Tegall....:)
(CP, Sept 2010)

Salam,

September 1, 2010

Perangko dan Kepekaan Seorang Pemimpin

Apakah anda punya hobi mengoleksi perangko?
Atau masih seringkah anda mengirim surat lewat pos dan menempeli amplop surat itu dengan perangko sebelum suratnya dikirim?

 
Perangko, bukti kita bayar (sumber gambar: klik)

Saya kurang tahu persis, apakah hobi mengoleksi perangko masih banyak dilakukan orang zaman sekarang. Saya yakin ada, tapi tentunya sudah amat berkurang dibandingkan pada masa jaya-jayanya surat menyurat konvensional dengan menggunakan layanan pos. Aktivitas mengumpulkan perangko atau yang disebut filateli ini memang menyenangkan (jadi bukan cuma menulis yang menyenangkan!..hehehe...), apalagi jika kita mendapatkan perangko yang unik dan sangat jarang, entah dari Indonesia sendiri maupun dari negara lain.

Sementara kegiatan mengirim surat melalui pos dari tahun ke tahun semakin berkurang seiring dengan makin majunya industri teknologi telekomunikasi dan informasi, dengan memasyarakatnya pemanfaatan alat komunikasi telepon selular dan penggunaan internet termasuk surat elektronik (email). Dan saat industri teknologi itu belum begitu maju, surat konvensional-lah yang menjadi andalan orang untuk berkomunikasi. Sementara perangko adalah tanda bukti bahwa kita sudah membayar biaya pengiriman atas surat yang kita kirimkan.

Perangko biasanya didesain dengan gambar-gambar tertentu yang khas atau memanfaatkan event tertentu suatu negara, termasuk juga gambar tokoh pahlawan atau pun pemimpin. Nah, pernahkan terbayang, wajah anda yang tercetak dalam perangko dan perangko itu digunakan oleh banyak orang untuk mengirim surat?
Saya sempat menanyakan lewat status fb saya, apakah ada yang mau. Ternyata teman-teman yang menjawab, menyatakan tidak mau dengan alasan bahwa perangko itu nantinya dipukul-pukul oleh petugas pos di kantor pos. Memang, dalam kegiatan pengelolaan surat oleh instansi negara dalam bidang pos ini (PT Pos Indonesia), perangko yang menempel pada surat harus di-chop sebagai bukti pengesahan dan juga menyatakan bahwa perangko itu sudah dipakai serta tidak bisa dipakai ulang.
Di-chop-nya itu yang butuh dipukul-pukul! Apalagi alat chopnya berbentuk palu lengkap dengan gagangnya.

Anda mau wajah anda dipukul-pukul, meskipun sebatas gambar pada perangko?
Hiiiy....saya pribadi tidak mau! Termasuk kalau saya jadi presiden lho! Saya tidak mau di-perangko-kan
Belum lagi kalau perangko bekasnya dibuang tempat sampah!
Belum lagi kalau....ada kawan saya di fb yang berseloroh, bagaimana kalau seseorang yang menempelkan perangko itu, menggunakan cairan "ludah"nya (maaf)? Hiiiiy....juga nggak maulah!

Anda mau wajah anda terpampang pada perangko dalam jumlah ribuah bahkan ratusan ribu lembar?
Hihihi...kemungkinan anda pun seperti saya, kecuali anda benar-benar pede dan butuh promosi atas diri anda yang seorang artis yang belum terlalu terkenal.

Ternyata, ada lho seorang pemimpin daerah yang mau wajahnya dicetak di atas perangko dan perangkonya digunakan untuk mengirim surat!
Dan hebatnya, hal tersebut adalah atas keinginan sendiri pemimpin yang seorang gubernur tersebut. Surat yang dikirimnya dialamatkan ke kepada pejabat pemerintah daerah hingga tingkat RW/RT itu pun tidak tanggung-tanggung, jumlahnya hingga 350 ribu lembar surat!...Surat yang merupakan kartu ucapan Selamat Hari Raya Idul Fitri 1431 H. Luar biasa bukan?
Ironisnya, proyek mengirim kartu lebaran ini, selain menggunakan perangko dengan gambar wajah sang pemimpin, biayanya yang memakan hingga 1,7 M itu 100% ditanggung oleh APBD! Satu hal yang menurut saya....nggak penting banget!

Uang sebesar itu bisa digunakan hal-hal lain yang jauh lebih bermanfaat, apalagi di tengah kondisi perekonomian yang seperti sekarang ini, di mana harga barang-barang kebutuhan pokok sedang naik, tarif dasar listrik yang naik, tarif-tarif lain naik juga, serta adanya rencana kenaikan harga BBM untuk kendaraan tertentu. Pokoknya masyarakat serba sulit, terlebih masyarakat golongan bawah alias golongan elit ekonomi sulit alias masyarakat miskin.
Dengan uang sebesar itu, ribuan rakyat miskin yang kelaparan bisa diberi makan. Puluhan sekolah dasar bisa dibangun atau diperbaiki dengan dana sebanyak itu.

Meskipun proyek itu sudah direstui oleh para wakil rakyat yang duduk di DPRD provinsi tersebut, yang berarti secara hukum bisa dibenarkan, tetap saja hal tersebut melukai perasaan sebagian besar masyarakat khususnya warga provinsi yang dipimpin gubernur tersebut. Sedemikian tipiskah rasa kepedulian pemimpin tersebut pada rakyatnya? Tidak punya kepekaankah terhadap kesulitan masyarakat kelas bawah yang sehari-harinya harus berjuang untuk sekedar bisa hidup?
Satu peragaan pemborosan uang negara di tengah-tengah kesulitan masyarakat miskin untuk menjaga kelangsungan hidup mereka.

Perangko Sang Gubernur (sumber gambar: klik)

Banyak kalangan yang mengkritik kebijakan gubernur tersebut, termasuk pihak yang merasa tokohnya (alias wakil sang gubernur) tidak diikutsertakan gambarnya dalam perangko tersebut. Ada yang mengatakan bahwa sang gubernur sudah mengidap penyakit narsisisme (benar nggak ya istilah ini?) sehingga terlalu pede untuk mengabadikan wajahnya dalam sebuah perangko dan perangkonya disebar ke seluruh pelosok provinsi.
Ada juga yang bilang, menggunakan dana Rp1,7 miliar hanya untuk berkirim kartu Lebaran sudah tidak patut, meskipun itu memakai uang pribadi. Apalagi jika uang negara yang dipergunakan!
Ingat, uang negara adalah uang kita, uang anda semua dan uang saya juga.

Saking kecewanya karena proyek ini terus bergulir, sekelompok mahasiswa di ibu kota provinsi tersebut membakar foto berwajah sang gubernur yang dilambangkan sebagai perangko narsistis tersebut.

Duuh...kapan para pemimpin kita bisa lebih peka terhadap penderitaan rakyatnya? (CP, Sep 2010)


Salam,
http://ceppi-prihadi.blogspot.com