Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Powered by Blogger

July 10, 2009

Saya Tidak Korupsi?

Belum lama ini ada seorang mantan pejabat yang divonis hukuman penjara 4 tahun karena terbukti melakukan korupsi (beritanya ada di sini). Suatu hal yang mungkin tidak disangka-sangka sebelumnya oleh yang bersangkutan, bahwa akibat tindakannya pada saat menjabat bisa sampai seperti itu. Mungkin karena beliau merasa itu sudah biasa di lingkungannya, atau juga mungkin karena merasa itu bukan tindakan korupsi.

Beberapa waktu yang lalu juga ada seorang pejabat pemda mencalonkan diri menjadi gubernur sebuah provinsi di Indonesia, dalam satu acara debat yang disiarkan di layar televisi, ada seorang di antara audience yang bertanya kepada beliau, "Saya tahu dari mulai lulus kuliah hingga menjabat sebagai Wagub, Bapak berkarir di Pemda. Dan Bapak sekarang memiliki harta yang menurut ukuran orang Indonesia sangat banyak. Pertanyaan saya, dari sekian banyak harta Bapak yang sekian puluh M itu, apakah Bapak yakin tidak ada yang diperoleh dari hasil korupsi?"

Bapak tersebut sempat terdiam sejenak, kemudian menjawab, "Tidak ada!"

Sekarang saya tanya kepada kita semua, apakah kita percaya jawaban atas pertanyaan itu?. Meskipun agama kita menyuruh agar kita tidak sudzon kepada sesama, "Okelah itu memang rizki yang diberikan Allah kepada beliau", namun dalam hati kecil sulit menerima kenyataan seorang pejabat (bukan pengusaha, dan pejabat kan tidak boleh menjadi pengusaha) bisa memiliki harta hingga puluhan M. Astaghfirullah, maafkan hambamu ya Allah! Bisa saja beliau memang punya orang tua yang kaya raya dan mewariskan kekayaannya kepada beliau.

Kebanyakan orang kita (orang Indonesia) merasa tidak melakukan korupsi. Pehamaman korupsi yang ada di benak sebagian besar orang kita, korupsi adalah memakan langsung uang yang bukan haknya, misalnya uang perusahaan atau uang negara. Tapi jika menerima pemberian uang atau barang dari pihak lain, kita tidak merasa melakukan korupsi.

Padahal, korupsi yang paling banyak terjadi di Indonesia, adalah yang jenis seperti itu. Kongkalikong antara pejabat publik dengan pengusaha, dalam meloloskan proyek atau memenangkan tender. Proyeknya lolos, pengusahanya senang. Saking senangnya si pejabat ditraktir atau diberikan hibah (istilah yang sering digunakan seseorang untuk berdalih dari mana hartanya berasal) barang ataupun uang. Si pejabat tidak meminta uang ke si pengusaha, jadi dia tidak merasa melakukan korupsi. "Orang dikasih kok! Siapa suruh ngasih duit?", pikirnya seperti itu.

Tapi apakah hal seperti itu merugikan negara? Tentu saja! Karena menimbulkan High Cost Economy.

Dulu pernah ada kasus pengadilan di Singapura antara BUMN pengelola minyak kita Pertamina dengan janda seorang mantan Direkturnya, Kartika Thaher. Kartika Thaher mengajukan pembelaan, uang warisan suaminya bukan dari hasil korupsi, karena itu semuanya adalah pemberian dari pihak lain. Sementara Pertamina menggugat, pemberian dari pihak lain itu adalah sebenarnya untuk Pertamina, jadi merupakan korupsi juga. Alasan Pertamina, pemberian itu dilakukan karena suami Kartika ini saat itu menjabat sebagai direktur Pertamina.
(Memang benar sih, coba kalau kepada orang biasa, tidak usah jauh-jauh, sayalah misalnya, mana ada perusahaan yang mau memberikan hibah uang, apalagi dalam jumlah besar!)
Argumentasi itu akhirnya diperdebatkan di pengadilan Singapura, dan Alhamdulillah (sampai saat ini bagi kita Singapura masih kurang kooperatif terhadap Indonesia kalau menyangkut kejahatan korupsi), pengadilan sana memenangkan gugatan pihak Pertamina. Akhirnya asset kekayaan sang mantan direktur itu ditarik dari bank Singapura kembali ke Indonesia.

Sayangnya, argumentasi Kartika Thaher saat itu masih dipakai oleh sebagian oknum warga negara kita hingga kini, yang tidak merasa melakukan korupsi tapi sebenarnya merugikan. Di tengah upaya keras KPK menjaring para penjahat korupsi, suasana seperti itu (kongkalikong atau pun pungli atau pun pelicin atau balas budi pimpinan daerah terhadap bekas tim suksesnya atau apapun namanya) bisa terlihat di kehidupan kita sehari-hari. Mulai dari saat mengurus KTP, mengurus SIM, passport, dokumen bea cukai, memasukkan barang ke perusahaan dan lain-lain yang sangat banyak, tidak lepas dari "pemberian" yang mungkin ikhlas tidak ikhlas ini.
Sementara yang menerima pun, merasa tidak meminta. Juga tidak merasa mengambil uang negara/perusahaan.
Hanya, kalau tidak diberi, kenapa jadi lambat ya pengurusannya? Kenapa jadi susah memenangkan tendernya? Kenapa customer kita pindah ke supplier lain? Kenapa pelanggaran dibiarkan kasat mata terjadi tanpa tindakan nyata dari aparat? Dan lain-lain yang pasti Bapak Ibu pernah merasakannya

Selama korupsi masih merajalela di segala lini kehidupan bangsa dan negara kita, mustahil kemajuan dan kesejahteraan bisa kita raih. Pimpinan yang sekuat apapun, yang sebersih bagaimanapun, tanpa didukung aparatnya, tanpa didukung rakyat dan warganya, adalah mustahil menghilangkan budaya korupsi yang sudah mendarah-daging.
Perbaikannya, kembali pada diri kita masing-masing. Dimulai dari kita sendiri. Bisakah?
Coba periksa diri kita, adakah sebagian penghasilan kita yang berasal dari pemberian ikhlas tidak ikhlas dari orang lain?


Majulah bangsaku, berantaslah korupsi!
(CP, Jul 2009)

No comments :

Post a Comment