(Masih Cerita Tentang Pengalaman Mudik Lebaran Lalu)
Selepas mengunjungi Mesjid Agung Demak, kami sempat pula berkunjung ke Mesjid Menara Kudus di Kudus, sekitar 58 km dari Semarang ke arah timur. Unik ya namanya? Memang, sesuai dengan namanya, mesjid ini punya keunikan berupa menara mesjid tersebut. Menara yang bukan sembarang menara, melainkan menara mesjid yang berbentuk serupa dengan bangunan candi. Jarang mesjid yang punya menara seperti ini, bahkan mungkin hanya ada satu-satunya di Indonesia!
Mesjid yang dibangun oleh Ja'far Shodiq -- seorang wali dari Walisongo yang pengaruhnya amat besar di seantero Kudus, sehingga orang lebih mengenalnya sebagai Sunan Kudus -- pada abad ke 16 ini merupakan salah satu peninggalan bersejarah yang amat sangat berharga, sebagai bukti proses penyebaran Islam di Tanah Jawa. Bentuk Mesjid Menara Kudus menjadi bukti, bagaimana perpaduan antara kebudayaan Islam dan kebudayaan Hindu telah menghasilkan sebuah bangunan yang tergolong unik dan bergaya arsitektur tinggi. Sebuah bangunan masjid, namun dengan menara dalam bentuk candi dan berbagai ornamen lain yang bergaya Hindu.
Keunikan dan nilai historis yang tinggi dari Mesjid Menara Kudus inilah yang menarik minat para wisatawan religi maupun wisatawan umum untuk mengunjunginya.
Kebesaran hati dan kearifan para wali semasa awal-awal penyebaran agama Islam di pulau Jawa, pada abad 15 dan 16, tercermin pula pada sikap Sunan Kudus yang melakukan pendekatan budaya kepada masyarakat sekitar Kudus yang saat itu umumnya menganut agama Hindu. Cara pendekatan itulah yang telah menghasilkan sebuah mesjid dibangun dengan kelengkapan menara berbentuk candi. Masyarakat Kudus tidak pernah merasa dipaksa untuk memeluk Islam, mereka dengan kesadaran sendiri dengan sukarela meninggalkan agama lamanya lalu memeluk agama Islam di bawah bimbingan sang Sunan.
Sebagai penghormatan kepada masyarakat Kudus saat itu, Sunan Kudus mengeluarkan larangan kepada umat Islam untuk menyembelih sapi, karena memang sapi adalah binatang yang dianggap suci oleh umat Hindu. Sebagai penggantinya, penduduk menyembelih kerbau untuk dimakan dagingnya. Hingga sekarang, anjuran itu tetap dijalankan oleh sebagian besar warga Kudus, sehingga tidak heran agak susah kita yang datang ke kota ini untuk mendapatkan masakan dari daging sapi.
Jika kita berjalan-jalan di kota Kudus, anda bisa mencoba mencicipi sate kerbau, sebagai salah satu makanan khas Kudus. Mau coba? Makan daging binatang yang biasa dipakai membajak sawah itu?...hehehe...datang saja ke Kudus!
Kalau saya sih, berhubung ke sana beserta anak istri, tentunya tidak bisa mencoba karena mereka sama sekali tidak tertarik. Apalagi anak saya Sasha yang cuma mengenal daging cuma daging ayam!
Dari arah Demak, menjelang masuk kota Kudus kami mengikuti arah ke dalam kota, karena jika kita bermaksud ke arah kota Pati, kita bisa menggunakan jalan bypass yang tidak memasuki kota. Memasuki kotanya, di setiap petunjuk jalan, selalu ada tulisan "Mesjid Menara" sehingga kami terus mengikutinya.
Kota Kudus terlihat bersih dan asri, sepertinya cukup nyaman untuk dijadikan tempat tinggal. Di kota inilah markas PB Djarum berada, sebuah organisasi pelatihan olahraga bulutangkis yang sudah menyumbangkan pemain-pemain bulutangkis berkaliber nasional maupun internasional! Sebagai kota industri rokok, di mana-mana terlihat baliho yang bertuliskan merek-merek rokok, termasuk merek yang jarang kita dengar dan kita lihat. Apalagi untuk saya yang bukan perokok.
Kami kehilangan arah saat kami merasa sudah dekat dengan mesjid tersebut karena tidak ada petunjuk jalan lagi. Akhirnya dengan mengira-ngira, kami tidak sengaja melewatinya. Tempatnya dekat pasar dan perkampungan penduduk yang cukup padat. Tempat parkir pun bisa dibilang tidak ada. Kita paling parkir di sekitar pasar di depan toko-toko yang ada. Kami tidak kebagian parkir di sekitar itu, hingga akhirnya kami dapatkan satu lahan parkir yang sepertinya merupakan bagian dari terminal angkot. Alhamdulillah! Nggak apa-apa deh, jalan agak jauh. Yang penting parkirnya aman ada yang jaga.
Mendekati mesjid, kami merasakan suasana yang makin ramai, keramaian pasar bercampur dengan keramaian pengunjung mesjid. Lebih dari sepuluh tahun yang lalu saya pernah mengunjungi mesjid ini, rasanya hingga sekarang tidak banyak yang berubah. Hanya sekarang terasa lebih ramai, terutama di jalan depan halaman mesjid. Sementara di bagian dalam, mesjid masih terlihat anggun dan indah. Menara yang berbentuk candi yang berada di sebelah kiri depan mesjid juga masih tetap tegar berdiri kokoh seolah-olah menjadi pengawal bagi mesjid tersebut.
Kalau saja tempat ini ditata dengan lebih baik, misalnya pasar dan perumahan di sekitar Mesjid itu direlokasi dan menjadi lahan kosong...mungkin keindahan dan keagungan mesjid ini akan lebih bisa terlihat dan dirasakan. Cuma susah ya di kita! Masyarakat yang sudah menikmati rizki dari keberadaan mesjid itu tentunya tidak mau dipindahkan begitu saja menjauh dari mesjid.
(Saya jadi ingat Mesjid Agung Bandung yang dikepung pertokoan dan tempat hiburan lain selama puluhan tahun. Dengan biaya yang cukup besar, akhirnya toko-toko di sekitar dibeli oleh pemda dan mesjid bisa diperluas. Tapi tetap saja masih kurang afdol karena tidak punya pandangan yang luas ...berbeda misalnya jika dibandingkan dengan Mesjid Agung Jawa Tengah yang memang dibangun baru)
Bagaimana bagian dalam mesjid tersebut? Mari kita tengok sedikit.
Saya, sesaat kami selesai mengikuti sholat Dhuhur berjamaah, menyempatkan diri untuk mengamat-amati dan mengambil beberapa foto bagian dalam mesjid. Sepintas interior mesjid tidak mencirikan bahwa mesjid tersebut sudah berumur ratusan tahun. Beda dibandingkan dengan interior Mesjid Agung Demak yang sebelumnya kami kunjungi!
Namun...ada sesuatu yang membuatnya beda dan terlihat unik. Yaitu adanya sebentuk gapura (atau menara mini ya?) dengan gaya candi di bagian belakang tengah.
Sayang, saya tidak bisa memastikan keberadaan batu bertulis di bagian depan ruangan mesjid, yang konon kabarnya batu tersebut berasal dari Baitulmakdis ( Al Quds ) di Yerussalem - Palestina. Dari kata Baitulmakdis itulah nama Kudus, yang artinya suci, berasal.
Sayang kedua, karena kami berencana meneruskan perjalanan ke Yogya, kami tidak sempat ke bagian belakang mesjid. Di sana, terdapat kompleks makam Sunan Kudus dan keluarga serta beberapa bangunan yang berkait erat dengan kehidupan Sunan.
Sebelum kembali ke tempat parkir, kami sempat membeli sedikit oleh-oleh di sebuah toko di antara deretan toko-toko seperti yang ditunjukkan foto di atas. Oleh-oleh yang khas? Tentu saja salah satunya adalah Jenang Kudus, yang kami beli karena diminta Andra, untuk diberikan kepada sahabat yang akan dikunjunginya di Kota Gudeg, yaitu Lilo putera Pak Eko SHP.
Eh...karena lapar kami mampir di sebuah warung bakso sekitar situ, makan bakso malang dulu. Terasa murah juga, semangkuk bakso hanya 5 ribu rupiah dan ...masak es jeruk cuma 2000 rupiah!....hehehe...kalau saja ada di daerah tempat tinggl kita.
Perut lapar...makan bakso malang ini sangat nikmat!...Nyam.nyam.nyam...
Sewaktu perjalanan pulang, kami baru menyadari bahwa ternyata letak mesjid ini tidaklah begitu jauh dari Alun-alun Kudus. Kok tadi waktu berangkat sempat kehilangan petunjuk ya? (CP, Okt 2010)
November 12, 2010
Mesjid Menara Kudus
Gerbang menuju menara dari sebelah kiri
Gerbang tengah difoto dari arah dalam
Suasana lingkungan di depan mesjid. Ramai!
Di tengah ruangan mesjid agak ke belakang, terdapat pula gapura/menara dengan gaya candi.
Bagian depan ruangan mesjid, tidak terlalu terlihat sebagai mesjid yang sudah ratusan tahun umurnya.
Andra dan Sasha di teras mesjid
Bangunan toko-toko di sekitar mesjid, dengan gaya arsitektur lama.
Ada Bakso Malang di Kudus ini. Murah lagi!
Ini yang foto si Andra. Agak blurr karena goyang!
Labels:
al quds
,
demak
,
jafar shodiq
,
jenang
,
jenang kudus
,
kudus
,
menara kudus
,
mesjid
,
sate kerbau
,
sunan kudus
,
walisongo
Subscribe to:
Post Comments
(
Atom
)
No comments :
Post a Comment