Pada waktu mudik yang baru lalu, saya sekeluarga sekali lagi mengunjungi mesjid, yang terbesar di Jawa Tengah sekaligus salah satu yang termegah dan terindah di Indonesia, yaitu Mesjid Agung Jawa Tengah (MAJT) di daerah Gayamsari, Semarang.
Kebetulan hari itu hari Jumat, saya dan Andra berencana menunaikan sholat Jumat di sana, juga kami sekalian ingin membayar rasa penasaran dari tahun lalu untuk melihat proses buka-tutup payung-payung raksasa yang menjadi keistimewaan mesjid tersebut. Hehehe...mungkin buka-tutupnya biasa saja ya! Mekanisme hidrolik. Tapi sebenarnya sih supaya si Andra bisa menyaksikan sendiri proses itu, biar wawasan dan rasa ingin tahunya yang besar terpenuhi. Kata adik ipar saya, payung-payung itu kalau hari Jumat sewaktu pelaksanaan sholat Jumat akan dibuka untuk menaungi para jemaah dari teriknya matahari.
Oh, ya. Rute perjalanan menuju mesjid itu cukup mudah. Bagi anda yang berasal dari luar kota dan mengendarai mobil, kata kuncinya adalah Pintu Tol Gayamsari. Jadi anda yang datang dari arah Jakarta, di daerah Krapyak belok kanan masuk tol, tinggal mencari pintu tol keluar Gayamsari. Sementara anda yang berasal dari arah selatan, Solo atau pun Yogya, silakan masuk tol di daerah Banyumanik, keluarnya di Gayamsari juga. Bagi anda yang datang dari arah pantura timur, Demak atau Kudus, silakan masuk tol di daerah Genuk, dan keluar di kata kunci yang saya sebutkan.
Keluar dari pintu tol Gayamsari, anda akan menemui pertigaan lampu merah, silakan belok kanan. Ikuti jalan hingga menemui lagi lampu merah berupa perempatan. Kalau melihat ke arah seberang perempatan sebelah kanan, akan ada gedung Lotte Mart. Dari lampu merah ini, beloklah ke kanan dan anda akan memasuki sebuah jalan yang tidak terlalu besar bernama Jalan Gajah. Di jalan inilah, MAJT berada, dengan jarak dari lampu merah tadi sekitar 500 hingga 800 meter. Jangan khawatir kesasar, karena dari kejauhan kita sudah bisa melihat menara mesjid yang tinggi.
Satu lagi untuk yang anda yang datang dari Purwodadi, nah ini saya tidak begitu paham. Katanya dari Terminal Penggaron (terminal ini sendiri saya nggak tahu di mananya...hehehe...), menyusuri Jalan Majapahit, lalu masuk ke jalan Gajah. Nyampe dech...!
Kembali ke cerita saya. Dari depan pintu gerbang, kami melihat bahwa payung-payung itu belum dibuka. “Kok belum dibuka, ya?” ujar saya kepada istri dan anak-anak. Masalahnya, waktu itu sudah menunjukkan pukul 11.30 lebih. Jadinya, timbul perasaan girang bercampur cemas dalam diri saya. Girang karena saya ke situ masih berkesempatan melihatan bagaimana payung-payung itu dibuka, termasuk bisa mengambil gambarnya, dan cemas karena saya berpikir jangan-jangan payung-payung itu sengaja tidak dibuka.
Antrian kendaraan di pintu gerbang masuk mesjid
Hingga azan berkumandang, dan saya beserta Andra sudah mengambil air wudhu, payung-payung itu belum juga terlihat dibuka. "Ehm...jangan-jangan memang tidak dibuka!", pikir saya. Bisa jadi...karena jemaah sholat Jumat yang hadir tidak terlalu banyak, masih bisa ditampung di ruangan yang ada, makanya payung-payung yang berada di pelataran tidak dibuka. Ternyata sampai khutbah dimulai...yakh memang tidak dibuka. Sayang sekali. Belum waktunya rasa penasaran itu terbayar.
Kami pun mengikuti sholat Jumat berjamaah di lantai bawah, di bawahnya lantai utama di mana khatib dan mimbar berada.
Bubaran sholat Jumat
Usai sholat Jumat, saya dan Andra berjalan keluar dari bangunan utama menuju dekat menara, karena istri saya dan Sasha menunggu di sana. Di penghujung jalan, masih di depan bangunan sayap kiri saya melihat kerumunan orang-orang. Rupanya beberapa pedagang sedang menggelar baragn dagangannya...dagangan berupa foto-foto. Foto-foto apa memangnya?
Gelaran foto-foto...seperti di acara wisudaan saja!
Itu lho, kayak di acara wisudaan. Saat orang-orang datang ke mesjid, berjalan dari arah luar atau tempat parkir ke arah bangunan utama mesjid, para pedagang yang merupakan fotografer itu mengambil foto para pengunjung mesjid tanpa diminta. Dan saat orang-orang bubaran sholat Jumat, mereka menggelar foto-foto yang sudah dicetak dan siap ditukar dengan sejumlah uang. Hehehe...kreatif juga ya! Cuma kapan mereka mencetak foto-foto itu ya? Bukannya mereka harusnya ikut sholat juga? Jangan-jangan...
Selain itu, para pedagang sekaligus fotografer itu harus jeli membedakan mana jemaah yang pendatang, mana yang warga setempat. Yang jemaah pendatang, besar kemungkinan akan membeli foto yang mereka ambil, karena di foto-foto yang tercetak tertulis jelas lokasi Mesjid Agung Jawa Tengah beserta tanggal diambil fotonya. Buat kenang-kenangan kan! Cuma kalau warga setempat...tentunya mereka sudah bosan difoto di tempat itu. Jadinya nggak akan beli tuh foto-foto!
Lepas dari deretan gelaran para pedagang foto tersebut, tak disangka, saya bertemu dengan salah satu teman sekantor saya. Kok bisa ya ketemu di sini? Padahal beliau mudiknya tidak di sini. Kalau tidak salah, mertuanya di Klaten.
Itulah namanya kebetulan. Teman saya itu beserta keluarganya serombongan sedang berwisata ke Semarang, setelah sehari sebelumnya mengunjungi kota Yogyakarta. Mudik wisata ini namanya...hehehe...Saya ambil saja fotonya biar jadi kenang-kenangan buat teman saya ini.
Pak Nurdin, yang tinggalnya di Rusa Raya, dan Andra berfoto bersama dengan latar belakang Al Husna Tower, MAJT.
Tiba di bawah tenda dekat menara, istri saya dan Sasha sudah tidak ada di sana. Sms dari istri, mereka masuk ke dalam mesjid untuk sholat dhuhur dulu. Akhirnya saya berdua Andra dengan duduk-duduk di bawah tenda, di sana disediakan kursi-kursi, di mana banyak orang yang sekedar berteduh dari teriknya matahari yang amat sangat menyengat ini.
Sambil menunggu istri dan anak perempuan saya, saya mengambil foto-foto dari mesjid ini, yang tahun lalu sebenarnya sudah cukup banyak. Kalau tahun lalu saya sempat mengambil foto dari atas menara, kini saya mengambil foto dari sekitar pelataran.
Ini foto Al Husna Tower dari arah pelataran...benar-benar kokoh ya kelihatannya! 99 meter tuh tingginya!
Sebelum menaiki tangga ke pelataran, saya menemukan di tengah-tengah terdapat batu prasasti peresmian pembangunan MAJT ini.
Batu prasasati peresmian MAJT ini di tahun 2006...oleh Bapak SBY.
Dari depan batu prasasti, jika kita melihat ke arah gerbang depan, maka pemandangannya akan seperti ini...
Foto ke arah depan...struktur simetris
Dan memandang dari belakang batu prasasti ke arah bangunan utama mesjid, akan seperti ini...
Foto ke arah bangunan utama...komposisi simetris juga!
Saat berada di pelataran, saya benar-benar merasakan kemegahan mesjid ini. Inilah payung-payung yang tidak sedang membuka.
Bangunan utama, kubah utama, keempat minaret dan keenam payung raksasa. Payung yang buat penasaran!
Ke arah kanan saya
Ke arah kiri saya
Ke arah belakang...ke arah menara...
Setelah puas memandang sekeliling mesjid dari tengah-tengah pelataran, saya kembali ke bawah tenda di mana Andra masih duduk menunggu. Eh...ternyata istri saya dan Sasha sudah bersamanya.
Foto juga akh dari sini...ada gazebo tuh di atas!
Dari arah tenda ke arah pelataran di mana terdapat gazebo
Sayangnya, di bawah gazebo itu kok ada tenda pedagang ya! Bagi saya, hal tersebut merusak pemandangan. Kenapa tenda pedagang terlalu dekat dengan bangunan mesjid.
Sementara kalau kita menengok ke arah tempat parkir pun, cukup banyak pedagang yang berjualan di bagian dalam pelataran menara. Contohnya seperti ini. Tahu gimbal...hihihi...namanya cukup gimbal ya! Tapi rasanya sih, menurut saya tidak jauh-jauh dari ketoprak.
Tahu Gimbal, khas Semarang
Seperti tadi saya bilang, di sebelah bawah gazebo ada tenda pedagang. Nah, mengenai keberadaan para pedagang ini, seharusnya pengelola MAJT lebih bisa mengatur mereka. Supaya lebih tertib, terlihat lebih teratur dan tentu saja keindahan dan keagungan mesjid ini tetap terjaga.
Di satu sisi, pedagang-pedagang tersebut menyediakan makanan dan minuman dan barang-barang lain yang dibutuhkan oleh pengunjung. Namun, di sisi lain pedagang itu berpotensi membuat mesjid menjadi kurang indah terlihat dan sedikit berkesan kumuh. Solusinya, harus ada penertiban dan pengaturan yang lebih baik terhadap pedagang. Jangan sampai para pedagang itu kehilangan tempat untuk mencari nafkah, namun juga kepentingan mesjid, keindahan dan keagungan mesjid ini harus tetap terjaga.
Satu lagi yang jadi keluhan saya dan anak-anak mengenai mesjid ini. Yaitu kurangnya pepohonan di sekitar lokasi. Apakah sulit menanam pohon di sini, atau barangkali tidak ada biaya untuk itu?
Menurut saya sepertinya tidak. Keberadaan pohon akan menjadi nilai tambah bagi keindahan bangunan, dengan warna hijau yang menjadi ciri kesejukan dan ketentraman. Dan tentunya akan menjadi payung alami untuk para pengunjung berteduh. Kalau pun hanya sekedar ditanam di pot, pohon-pohon itu tetap akan memberikan kesejukan bagi mata yang melihatnya. Biaya? Kayaknya nggak mungkin deh!
Ayo dong, tambah lagi pohon-pohonnya!
Bangunan utama mesjid dilihat dari belakang sebelah kiri
Sebelum kami pulang, karena kendaraan kami diparkir di bagian belakang mesjid, saya sempat mengambil foto bagian belakang. Memang terlihat indah ya mesjid ini. Wah, ternyata lebih hijau...itu yang saya dambakan!
Kami pun keluar dari mesjid dan pergi ke tempat lain ...tempat yang tidak kalah menarik di Semarang ini.
Salam,
http://www.cikarangbarucycling.com
September 14, 2011
Oleh-oleh Mudik: Bagaimana Payung-payung Itu Membuka?
Labels:
al husna tower
,
gayamsari
,
hidrolik
,
klaten
,
MAJT
,
minaret
,
payung
,
prasasti
,
tahu gimbal
,
tol banyumanik
,
tol genuk
,
tol krapyak
,
wisata di semarang
,
wisudaan
Subscribe to:
Post Comments
(
Atom
)
No comments :
Post a Comment