Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Powered by Blogger

September 26, 2011

Oleh-oleh Mudik: Padu Budaya di Kota Lumpia

Padu Budaya di Kota Lumpia

Dari Mesjid Agung Jawa Tengah, kami melanjutkan perjalanan dengan mengunjungi sebuah tempat yang juga merupakan landmark kota Semarang. Ke tempat yang merupakan rumah ibadah bagi teman-teman kita umat Kong Hu Cu, yaitu sebuah kelenteng. Namanya Kelenteng Sam Poo Kong, berlokasi di Jalan Simongan kelurahan Bongsari, Semarang Selatan. Kami tentu saja datang ke situ bukan untuk beribadah...hehehe...melainkan untuk melihat-lihat kelenteng yang memang oleh pemerintah kota Semarang dibuka sebagai objek wisata. Kelenteng yang erat hubungannya dengan budaya dan kepercayaan warga Indonesia keturunan Tionghoa, merupakan objek menarik bagi kita yang Muslim dan dari asal suku yang beragam di Indonesia ini. Di sinilah kita bisa menjadi saksi akan keragaman budaya dan sosial, toleransi agama dan kepercayaan, serta seni arsitektur Indonesia yang amat kaya. Bagi Andra dan Sasha, mereka bisa memperkaya khazanah pengetahuan dan wawasan mengenai kebangsaan dan kebudayaan.

Kelenteng Sam Poo Kong, yang merupakan salah satu dari aset kota Semarang berupa kelenteng-kelenteng yang megah dan indah, memiliki keunikan tersendiri dibandingkan dengan yang lain. Yaitu, kelenteng yang disebut juga oleh warga Semarang Gedong Batu ini, identik dengan tokoh sejarah yang berasal dari Tiongkok, yaitu Laksamana Cheng Ho. Berdasarkan sejarah, di abad 14 ada pasukan dari Tiongkok mendarat di pulau Jawa, tepatnya di pantai Semarang. Pasukan itu dipimpin oleh Laksamana Cheng Ho. Nah, lokasi tempat kelenteng sekarang ini berada adalah tempat tinggal sementara Laksamana Cheng Ho tersebut. Yang uniknya lagi, bahwa Laksamana Cheng Ho yang saya ketahui beragama Islam, menjadi tokoh panutan bagi warga Tionghoa di sekitar Semarang tempo dulu, yang agamanya bermacam-macam. Ada yang Kong Ho Cu, ada yang Islam, Budha, dan ada juga penganut Taoisme. Silakan baca buku-buku sejarah atau googling di internet. Yang pasti adalah, tempat yang katanya ada Gua Batu (makanya disebut Gedong Batu) sekarang merupakan sebuah kelenteng bernama Sam Poo Kong, dan dikunjungi orang dari mana-mana. Termasuk juga oleh warga keturunan Tionghoa yang hendak beribadah, dan juga wisatawan dari Cina yang sengaja berziarah ke tempat bersejarah ini. Setelah memarkir kendaraan di tempat parkir yang cukup luas, kami memasuki gerbang kelenteng yang sebagaimana bagian-bagian lain dari kelenteng tersebut didominasi warna merah. Katanya warna merah ini adalah warna keceriaan, keberuntungan dan harapan masyarakat Tionghoa. Ooh..ada sepasang naga tuh di bagian atasnya! Mereka menjaga kelenteng ini kali ya... PhotobucketGerbang depan Masuk ke dalam kelenteng ini, kita dipungut biaya masuk sebesar tiga ribu rupiah. Cukup murah. Kalau turis asing, kita bisa kena ceban tuh! Lihat saja tulisan di loket itu, "Turis asing tiket 10 ribu!" Hehehe...bagaimana membedakan ya kalau yang datang warga Indonesia keturunan Tionghoa? Mereka bisa dianggap turis dari Cina dong! PhotobucketTuris lokal Rp 3.000, turis asing Rp 10.000 Begitu masuk ke dalam, kita dihadapkan pada sebuah bangunan joglo, yang di dalamnya terdapat toko souvenir dan juga ada sebuah studio di mana kita bisa menyewa bermacam-macam pakaian tradisional Cina. Nantinya difoto dan bisa dicetak langsung! Di depan bangunan joglo, yang benar-benar merupakan perpaduan budaya...joglo di dalam kelenteng, berdiri dengan kokoh 2 buah patung penjaga khas bangunan adat Jawa. "Pah, kaka difoto di depan patung itu ya?" pinta Andra. "Oke deh...!" jawab saya. Langsung saja dia berpose di depan patung tersebut, dan saya memotretnya. PhotobucketAndra bergaya di depan patung penjaga Di antara gerbang dengan joglo terdapat 2 bangunan hiasan yang saya tidak tahu namanya. PhotobucketSeperti rumah-rumahan. Andra di depannya sambil memberi hormat PhotobucketArti tulisannya apa ya?...Yang jelas objek ini bagus buat background foto tuh! Tidak jauh dari loket tiket depan, terdapat pula loket tiket yang lain. Yang itu adalah bagi pengunjung yang bermaksud memasuki bangunan utama kelenteng di sebelah kiri, terutama buat yang mau beribadah di dalam sana. "Ehm...nggak usah masuk sana deh!", pikir saya. Yang saya kagumi dari arsitektur Tiongkok adalah detil bagian-bagian bangunannya. Contoh sederhananya adalah ini... PhotobucketAtap bangunan yang tidak pernah kosong dari ornamen penghias Mulai memasuki lapangan, jika kita membalikkan badan ke arah gerbang, kita akan melihat 2 buah bangunan yang amat berbeda arsitekturnya berdampingan. PhotobucketTiongkok dan Jawa...berdampingan di tengah kota Semarang! Alangkah meriahnya jika melihat ke atas...penuh dengan lampion berwarna merah, bergerak-gerak tertiup angin. Benar-benar semarak... Oh, ya, kami datang ke kelenteng itu sekitar pukul 3 - 4 sore. Kata yang pakar fotografi, waktu tersebut adalah waktu yang terbaik untuk mengambil foto, selain sekitar pukul 8 - 9 pagi. Cirinya...kita bisa melihat awan-awan di langit (anda bisa bandingkan dengan foto-foto saya di MAJT yang langitnya hanya berwarna biru). Sayangnya, kamera yang saya pakai benar-benar standar. Tidak pakai aksesoris apapun yang bisa memperlihatkan keindahan langit Semarang di sore hari. PhotobucketLampion-lampion...seolah-olah menghias langit di atas lapangan kelenteng Ke arah kiri...jika berpatokan dari gerbang masuk, kita bisa melihat bangunan utama kelenteng, yang biasa dipakai beribadah oleh warga etnis Tionghoa. Lihat...di depannya ada patung-patung indah berwarna-warni. Dugaan saya, patung-patung ini melambangkan dewa-dewi yang diyakini teman-teman kita tersebut. (Saya ingatnya cuma Dewi Kwan Im...habisnya sering disebut-sebut dalam buku cerita silat yang ditulis oleh Asmaraman Kho Ping Hoo) PhotobucketBangunan kelenteng utama, dengan patung-patung kecil di depannya Coba kita perjelas pandangan terhadap patung-patung itu, supaya detilnya lebih terlihat... PhotobucketPatung-patung yang dibuat secara apik dan teliti PhotobucketPhotobucketPhotobucketPhotobucketAda yang lagi bersembahyang di sebelah dalam Di lapangan sendiri, ada patung-patung lain yang tidak kalah menarik dan bernilai seni tinggi. Patung di bawah ini bukan salah satu dari patung terracotta ya!... PhotobucketDetilnya mengagumkan. Tulisan di bawahnya barangkali nama donatur yang menyumbangkan patung ini... Di ujung kiri lapangan...ada sebuah panggung berukuran cukup besar dengan backdrop yang menunjukkan waktu peresmian patung Laksamana Cheng Ho, pada bulan Juli 2011. Lho, patung laksamana Cheng Ho-nya mana? PhotobucketPanggung di pinggir lapangan dan Andra di atasnya Di pinggir kiri panggung terdapat tiga buah patung berwarna-warni yang sangat indah menurut saya...tentunya indah juga untuk difoto. PhotobucketWarna-warninya benar-benar hidup...! PhotobucketIni wajahnya saya perdekat...benar-benar detil. Juga yang ini... PhotobucketHiiiy...serrem amat tampangnya! Dan di sebelah kanan panggung, juga ada 3 buah patung yang berwarna-warni pula, seukuran orang beneran. PhotobucketSasha dan pengawal-pengawalnya PhotobucketJuga amat detil...tidak tahu siapa senimannya Lapangan di dalam kelenteng itu menjadikan tempat tersebut terasa luas dan lega, mengingatkan saya bahwa tidak banyak tempat terbuka di kota-kota besar di Indonesia. (Saya mendambakan di Indonesia ada lapangan/alun-alun luas seperti Lapangan Merah di Moskow, atau Lapangan Tiananmen di Beijing, atau juga Trafalgar Square di London) Dalam hati, dengan suasana Tiongkok yang amat kental di sana, saya mengkhayal seolah-olah sedang berada di dalam lingkungan Kota Terlarang Beijing...hihihi... Lihat saja istri dan anak-anak berfoto di tengah-tengah lapangan, dengan latar belakang jauh di ujung lapangan, terdapat bangunan gerbang yang sangat megah...dijaga patung Laksamana Cheng Ho yang gagah perkasa. (Oouhh...itu toh patung Laksamana Cheng Ho yang baru diresmikan!) PhotobucketBerkhayal...berada di Kota Terlarang Andra berlari menuju bangunan gerbang tersebut, lalu berdiri di bawah pintu gerbang yang amat besar. Hihihi...terlihat amat kecil! PhotobucketBangunan gerbang dan Andra, yang terlihat sangat kecil di depan pintu gerbang tersebut Saya mengikuti anak-anak menghampiri bangunan tersebut. Sasha berpose juga di depan pintu gerbang, siap untuk difoto. PhotobucketSasha bergaya bak seorang model Sebagaimana saya bilang...saya amat suka detil bangunan seperti ini. PhotobucketAtap bangunan yang penuh dengan detil Dan memandang ke arah sebaliknya...di lapangan banyak pengunjung yang sedang menikmati keindahan dan kemegahan kelenteng ini. PhotobucketKelenteng yang banyak dikunjungi wisatawan Coba kita lihat dari bawah, patung Laksamana Cheng Ho setinggi lebih dari 10 meter ini, yang katanya terbuat dari perunggu dan didatangkan langsung dari daratan Cina. Benar-benar terlihat gagah, tampan dan berwibawa! PhotobucketLaksamana Zheng He...atau Cheng Ho Supaya bisa mengetahui sedikit gambaran siapa sebenarnya Zheng He ini...silakan baca keterangan berupa tulisan di bawah patung tersebut. PhotobucketKonon...pelayaran Laksamana Cheng Ho pernah juga menyentuh daratan Amerika (berarti sebelum Columbus dong!) Buat yang senang fotografi, tempat ini bisa merupakan sebuah surga. PhotobucketBangunan gerbang dari arah samping...merah bersemu jingga diterpa cahaya matahari sore PhotobucketLilin-lilin raksasa PhotobucketAtap dengan detil ornamen-ornamen berbentuk binatang Saya perdekat juga ...supaya kita bisa lihat lebih jelas wajah Laksamana Cheng Ho. (Beberapa waktu yang lalu, di milis Pak Rivaldi bisa menebak dengan tepat wajah siapa ini. Kalau Pak Amril mah, sudah pernah datang ke lokasi ini...pasti tahulah!) PhotobucketWajah kalem dan berwibawa sang Laksamana Sekali lagi saya ambil foto bangunan gerbang beserta patung raksasa Laksamana Cheng Ho. PhotobucketSalah satu ikon kota Semarang Sekali-sekali...saya ingin juga tampil di foto. Hehehe...si Andra yang mengambil foto ini. PhotobucketPakai kaos hijau...bertuliskan "BloggerBekasi" Tanaman yang sedang berbunga kemerahan, turut menjadi penghias kelenteng Sam Poo Kong ini. Sayang ya, di belakangnya banyak kabel-kabel listrik! Eh...ada orang yang lagi foto-foto tuh! Foto seorang model lagi... PhotobucketSurga bagi yang senang foto-foto Setelah puas menikmati dan mengagumi apa yang ada di dalam lingkungan kelenteng itu, kami pun bersiap-siap pulang. Mudah-mudahan kelenteng itu tetap terjaga dan terawat...sehingga kelak anak-anak kita bisa mengunjunginya kembali saat mereka sudah besar. Tapi yang lebih penting lagi...mereka bisa memaknai tingginya nilai toleransi di antara komponen bangsa kita serta betapa beragam dan kayanya budaya masyarakat Indonesia, sehingga tempat ini tetap ada, dari dulu hingga sekarang...sampai nanti. PhotobucketLampion dengan latar belakang pohon beringin Salam, Menulis Itu Menyenangkan http://ceppi-prihadi.blogspot.com/

September 14, 2011

Oleh-oleh Mudik: Bagaimana Payung-payung Itu Membuka?

Pada waktu mudik yang baru lalu, saya sekeluarga sekali lagi mengunjungi mesjid, yang terbesar di Jawa Tengah sekaligus salah satu yang termegah dan terindah di Indonesia, yaitu Mesjid Agung Jawa Tengah (MAJT) di daerah Gayamsari, Semarang.
Kebetulan hari itu hari Jumat, saya dan Andra berencana menunaikan sholat Jumat di sana, juga kami sekalian ingin membayar rasa penasaran dari tahun lalu untuk melihat proses buka-tutup payung-payung raksasa yang menjadi keistimewaan mesjid tersebut. Hehehe...mungkin buka-tutupnya biasa saja ya! Mekanisme hidrolik. Tapi sebenarnya sih supaya si Andra bisa menyaksikan sendiri proses itu, biar wawasan dan rasa ingin tahunya yang besar terpenuhi. Kata adik ipar saya, payung-payung itu kalau hari Jumat sewaktu pelaksanaan sholat Jumat akan dibuka untuk menaungi para jemaah dari teriknya matahari.

Oh, ya. Rute perjalanan menuju mesjid itu cukup mudah. Bagi anda yang berasal dari luar kota dan mengendarai mobil, kata kuncinya adalah Pintu Tol Gayamsari. Jadi anda yang datang dari arah Jakarta, di daerah Krapyak belok kanan masuk tol, tinggal mencari pintu tol keluar Gayamsari. Sementara anda yang berasal dari arah selatan, Solo atau pun Yogya, silakan masuk tol di daerah Banyumanik, keluarnya di Gayamsari juga. Bagi anda yang datang dari arah pantura timur, Demak atau Kudus, silakan masuk tol di daerah Genuk, dan keluar di kata kunci yang saya sebutkan.

Keluar dari pintu tol Gayamsari, anda akan menemui pertigaan lampu merah, silakan belok kanan. Ikuti jalan hingga menemui lagi lampu merah berupa perempatan. Kalau melihat ke arah seberang perempatan sebelah kanan, akan ada gedung Lotte Mart. Dari lampu merah ini, beloklah ke kanan dan anda akan memasuki sebuah jalan yang tidak terlalu besar bernama Jalan Gajah. Di jalan inilah, MAJT berada, dengan jarak dari lampu merah tadi sekitar 500 hingga 800 meter. Jangan khawatir kesasar, karena dari kejauhan kita sudah bisa melihat menara mesjid yang tinggi.

Satu lagi untuk yang anda yang datang dari Purwodadi, nah ini saya tidak begitu paham. Katanya dari Terminal Penggaron (terminal ini sendiri saya nggak tahu di mananya...hehehe...), menyusuri Jalan Majapahit, lalu masuk ke jalan Gajah. Nyampe dech...!

Kembali ke cerita saya. Dari depan pintu gerbang, kami melihat bahwa payung-payung itu belum dibuka. “Kok belum dibuka, ya?” ujar saya kepada istri dan anak-anak. Masalahnya, waktu itu sudah menunjukkan pukul 11.30 lebih. Jadinya, timbul perasaan girang bercampur cemas dalam diri saya. Girang karena saya ke situ masih berkesempatan melihatan bagaimana payung-payung itu dibuka, termasuk bisa mengambil gambarnya, dan cemas karena saya berpikir jangan-jangan payung-payung itu sengaja tidak dibuka.

Photobucket
Antrian kendaraan di pintu gerbang masuk mesjid

Hingga azan berkumandang, dan saya beserta Andra sudah mengambil air wudhu, payung-payung itu belum juga terlihat dibuka. "Ehm...jangan-jangan memang tidak dibuka!", pikir saya. Bisa jadi...karena jemaah sholat Jumat yang hadir tidak terlalu banyak, masih bisa ditampung di ruangan yang ada, makanya payung-payung yang berada di pelataran tidak dibuka. Ternyata sampai khutbah dimulai...yakh memang tidak dibuka. Sayang sekali. Belum waktunya rasa penasaran itu terbayar.

Kami pun mengikuti sholat Jumat berjamaah di lantai bawah, di bawahnya lantai utama di mana khatib dan mimbar berada.

Photobucket
Bubaran sholat Jumat

Usai sholat Jumat, saya dan Andra berjalan keluar dari bangunan utama menuju dekat menara, karena istri saya dan Sasha menunggu di sana. Di penghujung jalan, masih di depan bangunan sayap kiri saya melihat kerumunan orang-orang. Rupanya beberapa pedagang sedang menggelar baragn dagangannya...dagangan berupa foto-foto. Foto-foto apa memangnya?

Photobucket
Gelaran foto-foto...seperti di acara wisudaan saja!

Itu lho, kayak di acara wisudaan. Saat orang-orang datang ke mesjid, berjalan dari arah luar atau tempat parkir ke arah bangunan utama mesjid, para pedagang yang merupakan fotografer itu mengambil foto para pengunjung mesjid tanpa diminta. Dan saat orang-orang bubaran sholat Jumat, mereka menggelar foto-foto yang sudah dicetak dan siap ditukar dengan sejumlah uang. Hehehe...kreatif juga ya! Cuma kapan mereka mencetak foto-foto itu ya? Bukannya mereka harusnya ikut sholat juga? Jangan-jangan...

Selain itu, para pedagang sekaligus fotografer itu harus jeli membedakan mana jemaah yang pendatang, mana yang warga setempat. Yang jemaah pendatang, besar kemungkinan akan membeli foto yang mereka ambil, karena di foto-foto yang tercetak tertulis jelas lokasi Mesjid Agung Jawa Tengah beserta tanggal diambil fotonya. Buat kenang-kenangan kan! Cuma kalau warga setempat...tentunya mereka sudah bosan difoto di tempat itu. Jadinya nggak akan beli tuh foto-foto!

Lepas dari deretan gelaran para pedagang foto tersebut, tak disangka, saya bertemu dengan salah satu teman sekantor saya. Kok bisa ya ketemu di sini? Padahal beliau mudiknya tidak di sini. Kalau tidak salah, mertuanya di Klaten.

Itulah namanya kebetulan. Teman saya itu beserta keluarganya serombongan sedang berwisata ke Semarang, setelah sehari sebelumnya mengunjungi kota Yogyakarta. Mudik wisata ini namanya...hehehe...Saya ambil saja fotonya biar jadi kenang-kenangan buat teman saya ini.


Photobucket
Pak Nurdin, yang tinggalnya di Rusa Raya, dan Andra berfoto bersama dengan latar belakang Al Husna Tower, MAJT.

Tiba di bawah tenda dekat menara, istri saya dan Sasha sudah tidak ada di sana. Sms dari istri, mereka masuk ke dalam mesjid untuk sholat dhuhur dulu. Akhirnya saya berdua Andra dengan duduk-duduk di bawah tenda, di sana disediakan kursi-kursi, di mana banyak orang yang sekedar berteduh dari teriknya matahari yang amat sangat menyengat ini.

Sambil menunggu istri dan anak perempuan saya, saya mengambil foto-foto dari mesjid ini, yang tahun lalu sebenarnya sudah cukup banyak. Kalau tahun lalu saya sempat mengambil foto dari atas menara, kini saya mengambil foto dari sekitar pelataran.

Photobucket
Ini foto Al Husna Tower dari arah pelataran...benar-benar kokoh ya kelihatannya! 99 meter tuh tingginya!

Sebelum menaiki tangga ke pelataran, saya menemukan di tengah-tengah terdapat batu prasasti peresmian pembangunan MAJT ini.

Photobucket
Batu prasasati peresmian MAJT ini di tahun 2006...oleh Bapak SBY.

Dari depan batu prasasti, jika kita melihat ke arah gerbang depan, maka pemandangannya akan seperti ini...

PhotobucketFoto ke arah depan...struktur simetris

Dan memandang dari belakang batu prasasti ke arah bangunan utama mesjid, akan seperti ini...

PhotobucketFoto ke arah bangunan utama...komposisi simetris juga!

Saat berada di pelataran, saya benar-benar merasakan kemegahan mesjid ini. Inilah payung-payung yang tidak sedang membuka.

PhotobucketBangunan utama, kubah utama, keempat minaret dan keenam payung raksasa. Payung yang buat penasaran!

PhotobucketKe arah kanan saya

PhotobucketKe arah kiri saya

Photobucket
Ke arah belakang...ke arah menara...

Setelah puas memandang sekeliling mesjid dari tengah-tengah pelataran, saya kembali ke bawah tenda di mana Andra masih duduk menunggu. Eh...ternyata istri saya dan Sasha sudah bersamanya.

Foto juga akh dari sini...ada gazebo tuh di atas!

PhotobucketDari arah tenda ke arah pelataran di mana terdapat gazebo

Sayangnya, di bawah gazebo itu kok ada tenda pedagang ya! Bagi saya, hal tersebut merusak pemandangan. Kenapa tenda pedagang terlalu dekat dengan bangunan mesjid.

Sementara kalau kita menengok ke arah tempat parkir pun, cukup banyak pedagang yang berjualan di bagian dalam pelataran menara. Contohnya seperti ini. Tahu gimbal...hihihi...namanya cukup gimbal ya! Tapi rasanya sih, menurut saya tidak jauh-jauh dari ketoprak.

PhotobucketTahu Gimbal, khas Semarang

Seperti tadi saya bilang, di sebelah bawah gazebo ada tenda pedagang. Nah, mengenai keberadaan para pedagang ini, seharusnya pengelola MAJT lebih bisa mengatur mereka. Supaya lebih tertib, terlihat lebih teratur dan tentu saja keindahan dan keagungan mesjid ini tetap terjaga.

Di satu sisi, pedagang-pedagang tersebut menyediakan makanan dan minuman dan barang-barang lain yang dibutuhkan oleh pengunjung. Namun, di sisi lain pedagang itu berpotensi membuat mesjid menjadi kurang indah terlihat dan sedikit berkesan kumuh. Solusinya, harus ada penertiban dan pengaturan yang lebih baik terhadap pedagang. Jangan sampai para pedagang itu kehilangan tempat untuk mencari nafkah, namun juga kepentingan mesjid, keindahan dan keagungan mesjid ini harus tetap terjaga.

Satu lagi yang jadi keluhan saya dan anak-anak mengenai mesjid ini. Yaitu kurangnya pepohonan di sekitar lokasi. Apakah sulit menanam pohon di sini, atau barangkali tidak ada biaya untuk itu?

Menurut saya sepertinya tidak. Keberadaan pohon akan menjadi nilai tambah bagi keindahan bangunan, dengan warna hijau yang menjadi ciri kesejukan dan ketentraman. Dan tentunya akan menjadi payung alami untuk para pengunjung berteduh. Kalau pun hanya sekedar ditanam di pot, pohon-pohon itu tetap akan memberikan kesejukan bagi mata yang melihatnya. Biaya? Kayaknya nggak mungkin deh!

Ayo dong, tambah lagi pohon-pohonnya!

Photobucket
Bangunan utama mesjid dilihat dari belakang sebelah kiri

Sebelum kami pulang, karena kendaraan kami diparkir di bagian belakang mesjid, saya sempat mengambil foto bagian belakang. Memang terlihat indah ya mesjid ini. Wah, ternyata lebih hijau...itu yang saya dambakan!

Kami pun keluar dari mesjid dan pergi ke tempat lain ...tempat yang tidak kalah menarik di Semarang ini.



Salam,

http://www.cikarangbarucycling.com