Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Powered by Blogger

November 27, 2010

Sega Jamblang, Makanan Khas Paling Populer di Cirebon

Kalaulah ada satu soal dalam acara Super Family, kuis keluarga di sebuah stasiun televisi, berbunyi:

"Makanan khas apa yang paling populer di kota Cirebon?"
Saya yakin sekali bahwa jawaban nomor 1 adalah "Nasi Jamblang".
 
Nasi Jamblang? Nasi apaan tuh? Untuk anda yang berasal dari daerah sana, tentunya sangat tidak asing lagi dengan makanan ini. Juga bagi anda yang pernah mengunjungi kota yang dijuluki Kota Udang dan Kota Wali ini, tentu juga pernah mendengar atau bahkan mencicipi makanan khas yang amat populer ini.
 
Salah satu makanan khas yang paling populer di Cirebon adalah Sega Jamblang atau Nasi Jamblang. Nama Jamblang sendiri berasal dari nama sebuah desa asal para pedagang makanan tersebut (dilewati kalau kita pergi dari Bandung ke Cirebon lewat Sumedang), dulunya. (Ada hubungannya dengan buah jamblang tidak ya? Wah, yang itu saya tidak tahu!)
Konon ceritanya, pada zaman penjajahan Belanda dulu nasi jamblang disediakan untuk para pekerja paksa proyek pembangunan Jalan Raya Pos yang menghubungkan Bandung dengan Cirebon pada masa gubernur jendral Daendels.

Ciri khas nasi ini, yang membedakan dengan makanan dari daerah lain, adalah digunakannya daun jati untuk membungkus nasinya. (Seingat saya, dulu juga daun jati digunakan untuk membungkus daging. Sekarang masih ada nggak ya?)
Lauk-pauknya terdiri dari tahu tempe, paru-paru, semur ati atau daging, 'balakutak' (cumi-cumi yang dimasak dengan 'tinta'-nya), perkedel, sate kentang, sate telur puyuh, sate usus, telur dadar, telur sambal goreng, sambal goreng cabe, dan lain-lain.
Untuk anda yang belum tahu atau melihat nasi jamblang ini, gambarannya adalah nasi kucing yang dijajakan angkringan yang menjamur di daerah kita. Mirip-mirip lah! Hanya ya itu, rasanya berbeda. Daun jati dan sambal goreng cabenya yang membuatnya berbeda.
 
Warung nasi jamblang yang tersohor adalah yang dimiliki oleh Mang Dul. Benar-benar terkenal, bahkan nama ini diidentikkan dengan nasi jamblang Cirebon. Lokasinya adalah di jalan Gunung Sari (bukan Gunung Sahari-nya ya!) Cirebon, tidak jauh dari Grage Mall, sebuah mal yang pasti dikenal oleh semua warga Cirebon.
Orang-orang bilang warung Mang Dul ini sering didatangi pejabat-pejabat pemerintahan Cirebon baik yang dulu maupun yang sekarang, untuk makan tentunya .. hehehe ... bukan untuk inspeksi. Bahkan, selebritis ibukota pun banyak yang pernah singgah di warung ini, termasuk saya...hahaha....
 
Dengan jam operasional dari jam 05.00 hingga sekitar jam 14.00 warung Mang Dul yang menyajikan menu yang beraneka ragam dengan harga relatif terjangkau, menjadi magnet kuat bagi perut pelancong yang sedang berada di kota pelabuhan di ujung timur Jawa Barat ini.
 

1gragemal

Warung Nasi Jamblang Mang Dul...tersohor ke seluruh Cirebon


Kalau mau ke tempat Mang Dul, patokannya adalah Grage Mall. Sebutlah Grage Mall kepada seseorang yang anda tanya, maka dia dengan mudah bisa menunjukkan arahnya kepada anda. Dan letak warung Mang Dul ini adalah di seberah jalan arah timur dari mal ini.
 

1mangdul

Pusat Perbelanjaan Grage Mall
 
Sekedar informasi, Grage Mall ...setahu saya... adalah mal pertama yang dibangun di kota Cirebon. Bagi anda yang bukan orang Cirebon jangan sekali-sekali bingung melafalkan "Grage" ini. Baca saja apa adanya, yaitu "grage" karena kata ini bukanlah nama dari bahasa asing, bahasa Perancis maupun Jerman ataupun yang lain. Bukan! "Grage" ini berasal dari istilah "Garage" dalam bahasa Belanda yang berarti garasi, namun sudah menjadi nama sebuah daerah di kota Cirebon. Memang dulunya, saya pernah dengar dari bapak saya almarhum, ada garasi/pool bis di sekitar itu sehingga orang Cirebon menyebut daerah itu Grage. Dan setelah seorang pengusaha pribumi asal Cirebon menyulap area yang tadinya berupa stadion dan kolam renang menjadi sebuah pusat perbelanjaan dan hotel berkelas internasional, nama Grage menjadi identik dengan Mal Grage atau Grage Mall, sekaligus menjadi salah satu landmark kota Cirebon.
Lucu dan unik sekaligus nama itu.

 

nasi-jamblang-mang-dul

Inilah ilustrasi nasi jamblang dari Mang Dul. Terlihat enak dan nikmat bukan? (foto bukan hasil bidikan saya, melainkan dari sini)
 
Nyam..nyam..nyam…maknyos…tangan kiri memegang piring dengan nasi beralaskan daun jati, dan tangan kanan mengambil nasi plus lauk dan memasukkannya ke dalam mulut kita….hap!

Tampaknya, tidak jauh dengan nasi kucing bukan? Hanya daun jati itu membuat nasinya wangi khas dan lebih awet segarnya.
 
Anda yang mau pergi ke arah Jawa Tengah ataupun Jawa Timur lewat Pantura atau pun dalam perjalanan pulangnya, sekali-sekali sempatkanlah mampir di kota kuliner Cirebon, untuk menikmati Nasi Jamblang ini. Tidak akan menyesal deh!
Selain di Warung Mang Dul, kita juga bisa menikmati nasi jamblang Pelabuhan di dekat Pelabuhan Cirebon, yang kata sebagian orang, lebih mantap sambalnya. Sayangnya, saya belum sempat ke sana sehingga belum bisa memberikan referensi.

 

 

Salam Kuliner,

http://ceppi-prihadi.blogspot.com

http://bloggercikarang.com

November 12, 2010

Mesjid Menara Kudus

(Masih Cerita Tentang Pengalaman Mudik Lebaran Lalu)

Selepas mengunjungi Mesjid Agung Demak, kami sempat pula berkunjung ke Mesjid Menara Kudus di Kudus, sekitar 58 km dari Semarang ke arah timur. Unik ya namanya? Memang, sesuai dengan namanya, mesjid ini punya keunikan berupa menara mesjid tersebut. Menara yang bukan sembarang menara, melainkan menara mesjid yang berbentuk serupa dengan bangunan candi. Jarang mesjid yang punya menara seperti ini, bahkan mungkin hanya ada satu-satunya di Indonesia!

Mesjid yang dibangun oleh Ja'far Shodiq -- seorang wali dari Walisongo yang pengaruhnya amat besar di seantero Kudus, sehingga orang lebih mengenalnya sebagai Sunan Kudus -- pada abad ke 16 ini merupakan salah satu peninggalan bersejarah yang amat sangat berharga, sebagai bukti proses penyebaran Islam di Tanah Jawa. Bentuk Mesjid Menara Kudus menjadi bukti, bagaimana perpaduan antara kebudayaan Islam dan kebudayaan Hindu telah menghasilkan sebuah bangunan yang tergolong unik dan bergaya arsitektur tinggi. Sebuah bangunan masjid, namun dengan menara dalam bentuk candi dan berbagai ornamen lain yang bergaya Hindu.

Keunikan dan nilai historis yang tinggi dari Mesjid Menara Kudus inilah yang menarik minat para wisatawan religi maupun wisatawan umum untuk mengunjunginya.

Menara Mesjid yang Berbentuk Candi


Kebesaran hati dan kearifan para wali semasa awal-awal penyebaran agama Islam di pulau Jawa, pada abad 15 dan 16, tercermin pula pada sikap Sunan Kudus yang melakukan pendekatan budaya kepada masyarakat sekitar Kudus yang saat itu umumnya menganut agama Hindu. Cara pendekatan itulah yang telah menghasilkan sebuah mesjid dibangun dengan kelengkapan menara berbentuk candi. Masyarakat Kudus tidak pernah merasa dipaksa untuk memeluk Islam, mereka dengan kesadaran sendiri dengan sukarela meninggalkan agama lamanya lalu memeluk agama Islam di bawah bimbingan sang Sunan.

Sebagai penghormatan kepada masyarakat Kudus saat itu, Sunan Kudus mengeluarkan larangan kepada umat Islam untuk menyembelih sapi, karena memang sapi adalah binatang yang dianggap suci oleh umat Hindu. Sebagai penggantinya, penduduk menyembelih kerbau untuk dimakan dagingnya. Hingga sekarang, anjuran itu tetap dijalankan oleh sebagian besar warga Kudus, sehingga tidak heran agak susah kita yang datang ke kota ini untuk mendapatkan masakan dari daging sapi.
Jika kita berjalan-jalan di kota Kudus, anda bisa mencoba mencicipi sate kerbau, sebagai salah satu makanan khas Kudus. Mau coba? Makan daging binatang yang biasa dipakai membajak sawah itu?...hehehe...datang saja ke Kudus!
Kalau saya sih, berhubung ke sana beserta anak istri, tentunya tidak bisa mencoba karena mereka sama sekali tidak tertarik. Apalagi anak saya Sasha yang cuma mengenal daging cuma daging ayam!

Dari arah Demak, menjelang masuk kota Kudus kami mengikuti arah ke dalam kota, karena jika kita bermaksud ke arah kota Pati, kita bisa menggunakan jalan bypass yang tidak memasuki kota. Memasuki kotanya, di setiap petunjuk jalan, selalu ada tulisan "Mesjid Menara" sehingga kami terus mengikutinya.
Kota Kudus terlihat bersih dan asri, sepertinya cukup nyaman untuk dijadikan tempat tinggal. Di kota inilah markas PB Djarum berada, sebuah organisasi pelatihan olahraga bulutangkis yang sudah menyumbangkan pemain-pemain bulutangkis berkaliber nasional maupun internasional! Sebagai kota industri rokok, di mana-mana terlihat baliho yang bertuliskan merek-merek rokok, termasuk merek yang jarang kita dengar dan kita lihat. Apalagi untuk saya yang bukan perokok.

Kami kehilangan arah saat kami merasa sudah dekat dengan mesjid tersebut karena tidak ada petunjuk jalan lagi. Akhirnya dengan mengira-ngira, kami tidak sengaja melewatinya. Tempatnya dekat pasar dan perkampungan penduduk yang cukup padat. Tempat parkir pun bisa dibilang tidak ada. Kita paling parkir di sekitar pasar di depan toko-toko yang ada. Kami tidak kebagian parkir di sekitar itu, hingga akhirnya kami dapatkan satu lahan parkir yang sepertinya merupakan bagian dari terminal angkot. Alhamdulillah! Nggak apa-apa deh, jalan agak jauh. Yang penting parkirnya aman ada yang jaga.

Rupa depan mesjid
 


Mendekati mesjid, kami merasakan suasana yang makin ramai, keramaian pasar bercampur dengan keramaian pengunjung mesjid. Lebih dari sepuluh tahun yang lalu saya pernah mengunjungi mesjid ini, rasanya hingga sekarang tidak banyak yang berubah. Hanya sekarang terasa lebih ramai, terutama di jalan depan halaman mesjid. Sementara di bagian dalam, mesjid masih terlihat anggun dan indah. Menara yang berbentuk candi yang berada di sebelah kiri depan mesjid juga masih tetap tegar berdiri kokoh seolah-olah menjadi pengawal bagi mesjid tersebut.

Gerbang menuju menara dari sebelah kiri

Gerbang tengah difoto dari arah dalam

Suasana lingkungan di depan mesjid. Ramai!

Kalau saja tempat ini ditata dengan lebih baik, misalnya pasar dan perumahan di sekitar Mesjid itu direlokasi dan menjadi lahan kosong...mungkin keindahan dan keagungan mesjid ini akan lebih bisa terlihat dan dirasakan. Cuma susah ya di kita! Masyarakat yang sudah menikmati rizki dari keberadaan mesjid itu tentunya tidak mau dipindahkan begitu saja menjauh dari mesjid.
(Saya jadi ingat Mesjid Agung Bandung yang dikepung pertokoan dan tempat hiburan lain selama puluhan tahun. Dengan biaya yang cukup besar, akhirnya toko-toko di sekitar dibeli oleh pemda dan mesjid bisa diperluas. Tapi tetap saja masih kurang afdol karena tidak punya pandangan yang luas ...berbeda misalnya jika dibandingkan dengan Mesjid Agung Jawa Tengah yang memang dibangun baru)

Bagaimana bagian dalam mesjid tersebut? Mari kita tengok sedikit.
Saya, sesaat kami selesai mengikuti sholat Dhuhur berjamaah, menyempatkan diri untuk mengamat-amati dan mengambil beberapa foto bagian dalam mesjid. Sepintas interior mesjid tidak mencirikan bahwa mesjid tersebut sudah berumur ratusan tahun. Beda dibandingkan dengan interior Mesjid Agung Demak yang sebelumnya kami kunjungi!
Namun...ada sesuatu yang membuatnya beda dan terlihat unik. Yaitu adanya sebentuk gapura (atau menara mini ya?) dengan gaya candi di bagian belakang tengah.


Di tengah ruangan mesjid agak ke belakang, terdapat pula gapura/menara dengan gaya candi.

Bagian depan ruangan mesjid, tidak terlalu terlihat sebagai mesjid yang sudah ratusan tahun umurnya.

Sayang, saya tidak bisa memastikan keberadaan batu bertulis di bagian depan ruangan mesjid, yang konon kabarnya batu tersebut berasal dari Baitulmakdis ( Al Quds ) di Yerussalem - Palestina. Dari kata Baitulmakdis itulah nama Kudus, yang artinya suci, berasal.

Andra dan Sasha di teras mesjid

Sayang kedua, karena kami berencana meneruskan perjalanan ke Yogya, kami tidak sempat ke bagian belakang mesjid. Di sana, terdapat kompleks makam Sunan Kudus dan keluarga serta beberapa bangunan yang berkait erat dengan kehidupan Sunan.

Bangunan toko-toko di sekitar mesjid, dengan gaya arsitektur lama.

Sebelum kembali ke tempat parkir, kami sempat membeli sedikit oleh-oleh di sebuah toko di antara deretan toko-toko seperti yang ditunjukkan foto di atas. Oleh-oleh yang khas? Tentu saja salah satunya adalah Jenang Kudus, yang kami beli karena diminta Andra, untuk diberikan kepada sahabat yang akan dikunjunginya di Kota Gudeg, yaitu Lilo putera Pak Eko SHP.

Eh...karena lapar kami mampir di sebuah warung bakso sekitar situ, makan bakso malang dulu. Terasa murah juga, semangkuk bakso hanya 5 ribu rupiah dan ...masak es jeruk cuma 2000 rupiah!....hehehe...kalau saja ada di daerah tempat tinggl kita.

Ada Bakso Malang di Kudus ini. Murah lagi!

Ini yang foto si Andra. Agak blurr karena goyang!

Perut lapar...makan bakso malang ini sangat nikmat!...Nyam.nyam.nyam...

Sewaktu perjalanan pulang, kami baru menyadari bahwa ternyata letak mesjid ini tidaklah begitu jauh dari Alun-alun Kudus. Kok tadi waktu berangkat sempat kehilangan petunjuk ya? (CP, Okt 2010)

November 9, 2010

Tukang Jamu Gendong...B4W!

Anda semua pasti mengenal yang disebut jamu. Ya, jamu yang terbuat dari bahan-bahan tradisional di lingkungan sekitar kita, seperti beras kencur, kunyit, temulawak, jahe, dan rempah-rempah lainnya, merupakan warisan leluhur nenek moyang kita, yang harus dijaga dan dilestarikan.

Khasiat jamu bukan saja untuk menjaga kesehatan, namun bisa sebagai penjaga kebugaran tubuh kita serta untuk kaum wanita, berguna pula untuk menjaga dan menambah kecantikan.

Anda suka minum jamu?
Kalau suka, bagaimana anda meminum jamu tersebut? Meramu dan meracik sendiri? Menyeduh dari jamu kemasan yang banyak dijual di supermarket-supermarket? Atau anda datang ke salah satu tenda penjual jamu dan memesannya?

Atau anda membelinya dari tukang jamu keliling alias tukang jamu gendong?

Ya...tukang jamu gendong merupakan ujung tombak para pengusaha jamu dalam menjajakan produk kesehatan tradisional ini langsung ke masyarakat, langsung ke depan kita, ke dalam halaman rumah kita.

Tukang jamu gendong yang pada umumnya ibu-ibu, ada juga sebagian yang masih gadis, terlihat begitu kuat dan perkasanya menjalankan keseharian tugasnya. Dari satu kampung ke kampung lain, mereka berjalan kaki menapaki jalan menyusuri satu per satu rumah-rumah, menjajakan dagangannya sambil menggendong bakul berisi botol-botol jamu dan menenteng ember kecil berisi air untuk mencuci gelas. Tanpa lelah dan tanpa mengenal waktu, mereka baru pulang setelah dagangan mereka habis.

Menjadi tukang jamu memang bukan pilihan, tetapi menjaga keberlangsungan hidup mereka dan keluarganya merupakan keharusan yang tidak bisa dibantah. Dan, tetap menekuni profesi sebagai tukang jamu gendong adalah pilihan tepat bagi kehidupan mereka.

Memang berat ketika memutuskan menjadi tukang jamu gendong, mereka harus bertahan dan eksis walaupun harus bergelut dengan berbagai tekanan ekonomi yang semakin berat ini.

Mereka harus tetap eksis walaupun suasana masyarakat sudah berubah, di mana teknologi dan gaya hidup modern telah menciptakan obat-obatan dan makanan minuman suplemen kesehatan yang lebih menawarkan kepraktisan dan prestise.

Mereka juga harus tetap eksis meskipun ada isu menerjang, yang mengatakan bahwa jamu yang mereka jual mengandung bahan-bahan kimia dari obat-obatan modern. Ahh...itu tingkah laku oknum...yang di masyarakat kita memang selalu ada orang mencari keuntungan di tengah ketidaktahuan orang!

Satu hal, mereka tidak boleh ciut hati dan surut langkah yang harus diayunkan. Kerja harus tetap berlanjut dengan menunjukkan kualitas produk yang mereka jajakan dan servis senyuman manis kepada pelanggan.

Ada yang menyesuaikan diri dengan kebutuhan masyarakat sekarang yang butuh lebih cepat, praktis dan tidak ingin serba ribet. Juga area pasar yang semakin luas dengan tingkat persaingan yang lebih tinggi.

 Kecepatan dan mobilitaslah kuncinya. Berjalan kaki mungkin dianggap kurang bisa menjangkau daerah pemasaran yang lebih luas dan kelompok masyarakat yang beragam. Untuk itu, sebagian dari tukang jamu gendong ini, bertransformasi menjadi tukang jamu beralat transportasi. Sepeda menjadi pilihan alat mobilitas yang dibutuhkan mereka dalam membantu mereka menjaga eksistensi mereka di tengah-tengah persaingan kehidupan modern. Ekonomis, sehat dan ramah lingkungan! Ya, sepeda...! Satu semangat dengan produk yang mereka buat dan mereka jual.


Dari jamu gendong bertransformasi menjadi jamu sepeda...


Yaa...sepedalah alat bantu mereka. Jadilah sepeda buat mereka alat kerja yang amat vital.

Bukan B2W, melainkan B4W!

Bike for work...bahkan juga mungkin ...Bike for Life! Sepeda dan jamu itu menjadi jalan hidup mereka.

Salam,

--
Ceppi Prihadi
http://ceppi-prihadi.blogspot.com

November 8, 2010

Pilih Mana: Original Atau Isi Ulang?

“Menjawab Kebutuhan Konsumen di Tanah Air”

Begitulah judul iklan sebuah printer dengan merek ternama E**** di surat kabar, sehubungan dengan diluncurkannya dua produk barunya, yang mengusung fitur “branded ink tank system”. Fitur ini digadang-gadang akan menjadi jawaban atas kebutuhan masyarakat Indonesia, yang merindukan printer dengan biaya pencetakan serendah mungkin. Bayangkan, hanya dengan harga Rp 55.000 per botol (dan kita perlu membeli 3 botol tinta warna C, M, dan Y serta 3 botol tinta hitam), jumlah lembar pencetakan yang bisa dihasilkan mencapai 12.000 hitam putih dan 6500 berwarna, berdasarkan tes yang dilakukan produsen printer tersebut.

Produsen printer tersebut, mengklaim telah memelopori hadirnya printer dengan sistem tanki, pertama di dunia, uniknya didesain untuk pasar Indonesia (hihihi...kasihan banget Indonesia...tapi sekaligus membanggakan terpilih jadi pasar utama), dengan nama E**** Original Ink Tanks. Dengan sistem ini, diharapkan biaya pencetakan per halaman akan menjadi sangat ekonomis. Berapa sih per lembarnya?


Original Ink Tanks System, yang mereduksi biaya pencetakan


Katanya, Rp 14 per halaman dokumen hitam-putih dan Rp 25 untuk halaman dokumen berwarna. Memang cukup murah! Coba kita bayangkan, mengeprint di rental atau warnet selembarnya kan bisa Rp 2000.

Dengan sistem tanki original ini, pengisian ulang akan terjamin bebas dari kebocoran, terhindar dari penyumbatan tinta dan kemacetan kertas, serta garansi resmi yang tetap berlaku dari sang produsen.

Satu terobosan produsen printer yang benar-benar ditunggu konsumen pengguna printer, khususnya di Indonesia, yang selama ini dipusingkan pada pilihan antara menggunakan tinta original yang harganya setinggi langit namun dipaksa-paksakan dibeli supaya garansi tidak hilang, dengan kebutuhan mendapatkan biaya pencetakan yang ekonomis namun dengan resiko garansi terhadap printer tersebut menjadi hangus.

Terobosan yang sebenarnya datang terlambat, mengingat realitanya, sudah banyak pengguna printer di kita menggunakan berbagai cara untuk berhemat. Mulai dari menyuntik diri sendiri (huahaha...emangnya narkotika!), eh menyuntik sendiri untuk isi ulang, membawanya ke outlet-outlet isi ulang yang banyak tersebar di kita, menggunakan ink cartridge pihak ketiga/kompatibel atau pun membuat “ink tank system” sendiri yang sering disebut “sistem infus” dengan selang sambungan yang terlihat bagaikan usus panjang menjalar dari dalam printer ke tanki-tanki tinta yang berada di luar. Berbagai kreativitas dari anak bangsa untuk mengakali dominasi produsen printer terhadap ketergantungan tinta dengan merek yang sama, dengan semangat independensi yang sulit ditandingi oleh para produsen printer yang notabene sebenarnya adalah penjual tinta printer.

Printer dengan sistem infus

Namun tetap usaha produsen yang satu ini patut kita hargai, dan besar harapan kita sebagai pengguna komputer dan pengguna printer, sistem ini bisa diterapkan di berbagai jajaran produk lain dari produsen printer tersebut. Kalau perlu, botol yang sekarang dipakai diperbesar lagi dengan harga yang tetap. Harga komputer dari tahun ke tahun makin murah, masak harga tinta dari dulu hingga sekarang tidak turun-turun?

Para pebisnis SOHO, silakan berhitung-hitung. Mana lebih ekonomis sistem yang biasa anda pakai dengan sistem baru produsen ini?

Buat pengguna rumahan dan kantoran, tetaplah “think before you print!”, jangan sembarang mengeprint terus setelah itu kertasnya anda remas-remas dan anda buang.

Sayangilah uang anda! (Sayangi bumi anda!)

CP, Nov 2010

November 7, 2010

Umami...rasa kelima di lidah kita

Anda pernah mendengar istilah "umami"?

Mungkin tidak pernah ya, dan memang saya sendiri pun baru mengetahui istilah ini dari iklan sebuah produk penyedap masakan A********. Menurut tulisan yang ada di iklan pada sebuah tabloid ini (kalau tidak salah iklannya di televisi pun menyinggung istilah "umami" ini namun tidak menjelaskannya lebih detil) "umami" adalah rasa dasar kelima setelah manis, pahit, asin dan masam. Dan klaim produk tersebut, rasa "umami" terdapat padanya.

Memangnya benar ada rasa kelima ini?

Istilah umami sendiri berasal dari bahasa Jepang, “umai” yang artinya savoury, deliciousness, atau brothy. Rasa umami dominan pada lezatnya rasa kaldu.

Para 1908, Kikunae Ikeda, seorang profesor dari Universitas Tokyo meneliti lebih jauh tentang rasa umami. Ikeda berhasil menemukan glutamat sebagai sumber rasa umami dari kaldu rumput laut (kombu). Profesor Ikeda meyakini bahwa rasa umami berbeda dari empat rasa dasar yang telah dikenal sebelumnya. Pada akhirnya, rasa umami diakui dunia sebagai rasa dasar ke-5, tepatnya pada 1980-an.


“Kalau kita coba mencicip, menikmati pelan-pelan, lalu mengunyah makanan, sebenarnya ada rasa lain, lebih dari sekadar empat rasa. Ada kelas sendiri yang tidak bisa dikategorikan,” kata seorang ahli pangan dan gizi dari Institut Pertanian Bogor, Purwiyatno Hariyadi MSc PhD.

Rasa umami bisa didapat dari bahan-bahan makan yang ada di sekitar kita, seperti tempe, keju, terasi, ikan, daging, susu dan bahan-bahan lain yang mengandung glutamat, termasuk bumbu penyedap rasa (Monosodium Glutamat/MSG).

Jadi terlepas dari apakah MSG itu berbahaya bagi kesehatan atau tidak, umami sudah menjadi pelengkap dari rasa yang sudah dikenal lidah kita. Dan di negeri Jepang sendiri, umami ini dipelajari secara khusus sehingga ada badan khusus yang disebut Pusat Informasi Umami (Umami Information Center). Mereka meyakini selain memberi kelezatan pada masakan, rasa umami juga bermanfaat mendorong masyarakat untuk mengonsumsi makanan yang lebih bernutrisi. Wah...begitu ya pentingnya rasa umami itu!

Hehehe...itu mah rasa gurih atuh. Rasa gurih memang yang membuat makanan kita lebih terasa nikmat dimakannya. (CP Nov 2010)