Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Powered by Blogger

May 26, 2010

Dilarang Membuang Sampah, Kecuali Monyet!

Alkisah, di kampung tempat tinggal si Kabayan terdapatlah sebidang tanah kosong di pojokan jalan. Seperti kebiasaan orang kampung pada umumnya, tanah kosong tersebut menjadi tempat penampungan sementara atau pun juga akhir sampah dari rumah-rumah warga di situ.

Pak Dadang pemilik tanah kosong tersebut merasa gemas dan kesal melihat kebiasaan orang-orang di kampungnya yang sering membuang sampah di tanahnya. Jika dia berjaga-jaga di tanah tersebut untuk melihat siapa saja yang suka membuang sampah di sana, tidak ada seorangpun yang terlihat datang. Padahal, keesokan harinya sampah baru terlihat menumpuk.

Untuk memberitahu bahwa tanahnya bukanlah tempat penampungan sampah, dipasanglah oleh Pak Dadang papan bertuliskan besar-besar “DILARANG KERAS MEMBUANG SAMPAH DI SINI” di lokasi tersebut. Namun, setelah beberapa waktu, sepertinya tulisan itu tidak ada artinya. Tetap saja sampah bertambah. Apakah warga kampung tidak bisa membaca tulisan larangan itu, sepertinya tidak mungkin. Pak Dadang tahu persis bahwa penduduk kampungnya sudah bebas dari buta huruf.

“Atau mungkin mereka merasa tidak suka terhadap kesuksesanku, dengan cara membuang sampah ke tanahku?”, Pak Dadang merasa penasaran.

Saking kesalnya, tulisan pada papan tersebut ditambahnya. Menjadi “DILARANG KERAS MEMBUANG SAMPAH DI SINI, KECUALI MONYET!” Dengan harapan harga diri orang yang mau membuang sampah di situ tersinggung, sehingga tidak lagi membuang sampah di sana.

“Masak sih orang nggak kesentil dengan tulisan ini?!” pikir Pak Dadang sambil tersenyum-senyum menang.

Besok paginya, Si Kabayan yang merupakan salah satu warga kampung yang rutin membuang sampah di tanah kosong itu, menjadi orang pertama yang datang untuk membuang sampah. Begitu dia membaca tulisan pada papan yang sudah ada tambahannya, dia tertegun sejenak. “Sialan,..masak sayah dibilang monyet. Sayah kan orang!” Tersinggung juga rupanya hati si Kabayan membaca tulisan itu, dan dia pergi dari situ tidak jadi membuang sampah. Berikutnya orang-orang kampung yang lain pun mengikuti si Kabayan, tidak mau lagi membuang sampah di tanah Pak Dadang, karena merasa tersinggung dikatakan monyet.

Selama seminggu Pak Dadang merasa senang, karena tidak ada sampah baru yang terlihat di tanahnya. Namun hanya dalam sembilan hari saja kegembiraannya, karena di hari kesepuluh dia mendengar kabar dari pembantunya bahwa dalam tiga hari terakhir tanahnya sudah ditambahi sampah baru.

“Kurang ajarrr…! Kok, orang-orang itu masih membuang sampah di tanahku. Apa mereka sudah menjadi monyet beneran ya?!”, penasaran dia dibuatnya terhadap perubahan sikap orang-orang kampung yang sudah kembali membuang sampah di tanah kosong miliknya.

Pak Dadang mencari tahu, dan dia dapatkan. Dari kabar orang-orang, katanya, setiap pagi, bolak-balik seekor monyet datang ke tanah kosong itu, membawa sekeranjang sampah dan membuangnya di situ.

“Oaalah…pinter amat sih orang-orang itu! Pantesan mereka tidak tersinggung. Wong monyet yang buang sampah di sana!”, Pak Dadang bertambah kesal karena akalnya telah terkalahkan.

Rupanya, selama seminggu orang-orang tidak membuang sampah di sana, si Kabayan telah melatih seekor monyet untuk bisa membawa dari rumah dan membuang sampah di tempat itu. Setelah satu minggu berlalu, si Kabayan tiap pagi tinggal menyuruh monyetnya untuk membuang sampah di sana. Dan, tetangga-tetangganya ikut-ikutan dengan menyewa monyetnya untuk membuang sampah di tanah pojokan jalan itu.

Pak Dadang tahu bahwa monyet yang sering disuruh orang-orang untuk membuang sampah di tanahnya itu adalah milik si Kabayan. Dengan penuh kegemasan dan kegeraman, dia pun memodifikasi lagi tulisan pada papan itu “DILARANG KERAS MEMBUANG SAMPAH DI SINI, KECUALI MONYET! MANUSIA. YANG MENYURUHNYA MONYET!“

Hari-hari berikutnya, orang-orang membuang sampah seperti biasa di tanah milik Pak Dadang itu, termasuk si Kabayan.

(Cerita ini saya tulis kembali, bersumber dari cerita di majalah Kuncung sewaktu saya duduk di kelas 5 SD. Majalahnya sendiri entah sudah ada di mana!)

Salam,
http://ceppi-prihadi.blogspot.com

Photobucket
Foto diambil pada hari Rabu 26 Mei 2010 pukul 19.30 dalam kondisi hujan (CP)


May 20, 2010

Anti Bahu Jalan (di Tol)

Semalam saya menonton acara Autoblitz di MetroTV. Ada liputan beberapa komunitas penggemar otomotif yang sedang mengkampanyekan gerakan "Anti Bahu Jalan (di jalan tol)”. Juga disertai komentar positif dari seorang petinggi polisi mengenai gerakan ini. Menurut beliau, bahu jalan (jalan tol) hanya boleh digunakan dalam kondisi darurat, tidak boleh digunakan meskipun dalam kondisi macet sekalipun.
 
Di kita, memang bahu jalan menjadi lajur favorit pada saat jalan tol mengalami kepadatan. Kata supir-supir bis, jika anda di jalan tol ingin cepat sampai tujuan, ambillah bahu jalan. Pun kalau saya lihat, banyak mobil pribadi bahkan ada beberapa mobil mewah yang dengan antengnya berjalan tanpa hambatan di bahu  jalan. Satu-satunya hambatan adalah jika ada mobil berhenti darurat (mogok) di bahur jalan tersebut. Kalau ada yang seperti ini, dengan tidak malu-malu mereka langsung banting stir ke lajur kanannya meskipun harus menyelak mobil yang sudah berjalan di tempat yang benar.
Dalam hal ini, kita harus selalu mengingat kejadian di waktu silam, bagaimana sebuah bis penumpang dari PO Kramat Jati, saat terjadi kepadatan di Tol Jagorawi. Karena sudah menjadi kebiasaan, bis tersebut dari lajur paling kanan begitu melihat di sebelah kanan padat oleh kendaraan, langsung membanting stir berpindah lajur ke kiri, dan masuk ke bahu jalan. Dalam kondisi masih dalam kecepatan tinggi, bis tersebut melaju di bahu jalan, dan baru terlambat menyadari jika di depannya terdapat sebuah mobil jip yang sedang berhenti. Tabrakan pun tidak terelakkan, mengakibatkan jip terbakar, dan bisnya pun ikut terbakar. Parahnya, saat bis mulai terbakar di bagian depan, para penumpang di dalamnya tidak bisa keluar karena pintu bis bagian belakang karena pintu itu otomatis menggunakan tenaga hidrolik, yang dikendalikan dari bagian sopir, yang orangnya sudah duluan ngacir.
Akhirnya, puluhan jiwa mati sia-sia terbakar di dalam bis.
Saat itu yang lebih dipermasalahkan oleh pihak berwenang dan juga oleh masyarakat kita adalah ke-tidakada-an pintu darurat pada bis, dan juga alat untuk memecahkan kaca jendela, agar penumpang bisa keluar.
Namun permasalahan sebenarnya adalah kebiasaan sebagian sopir di kita yang selalu memanfaatkan bahu jalan. Kebiasaan itu yang berujung pada maut yang menimpa para penumpang bis tersebut.
Kebiasaan yang sulit untuk dihilangkan, namun harus dihilangkan dari masyarakat kita!!!
 
Coba saya bertanya:
Bagaimanakah dengan anda? (buat pengendara kendaraan roda empat atau lebih)
a. Saya tidak pernah menggunakan bahu jalan, kecuali dalam kondisi darurat seperti mogok.
b. Sekali-sekali saya menggunakan bahu jalan pada saat kepepet (ingin cepat sampai)
c. Saya pengguna setia bahu jalan
 
mobil bintang
Mobil "berbintang" kepergok menggunakan bahu jalan (sumber gambar: flickr.com)
 
 
Salam,
CP

May 7, 2010

KA Parahyangan: Keretaku Sayang, Keretaku Malang

Tanggal 27 April lalu adalah hari kelabu bagi dunia perkereta-apian Indonesia. Pasalnya, sebuah trayek jalur kereta api yang menghubungkan Jakarta – Bandung yang hampir berumur 40 tahun, bernama KA Parahyangan mulai tanggal tersebut ditutup oleh manajemen PT KA Indonesia. Ditutup dengan alasan merugi terus, pemasukan dari hasil penjualan tiket penumpang tidak bisa menutupi biaya operasional. Semenjak dibukanya jalan tol yang menghubungkan Cikampek dengan Padalarang atau yang biasa disebut Cipularang (Cikampek – Purwakarta – Padalarang) di tahun 2005 yang memungkinkan perjalanan Jakarta-Bandung dengan menggunakan kendaraan mobil bisa ditempuh dalam waktu 2 jam, memang KA Parahyangan mendapat saingan amat berat. Dari tahun ke tahun berkurang terus penumpangnya, hingga kondisinya “megap-megap”, dan akhirnya terbukti di tanggal itu “vonis mati” pun diketukkan.

KA Parahyangan yang tak terlupakan
Kenangan dari KA Parahyangan (Sumber gambar: di sini)

Alasan yang masuk akal namun menjadi peristiwa yang benar-benar menyedihkan! Meskipun katanya penumpang untuk trayek itu akan dilayani oleh KA jenis lain, yaitu KA Argo Gede.
Bagaimana tidak menyedihkan, transportasi kereta api di Indonesia dari zaman kemerdekaan hingga sekarang tidak sekalipun menunjukkan peningkatan, baik kuantitas maupun kualitasnya. Jaringan lintasan rel kereta api warisan pemerintah kolonial Belanda sejak dipegang oleh pemerintah Indonesia tidak pernah bertambah, dari tahun ke tahun berkurang terus. Satu per satu jalur atau pun trayek kereta api mati, dengan alasan sama dengan di atas. Kurang peminat dan biaya operasional tidak tertutupi!
Begitu banyaknya jalur mati sehingga infrastruktur perkeretaapian yang dibangun sejak jaman Belanda ini terlantar dan akhirnya dimanfaatkan untuk kepentingan lain. Tanah, rel, jembatan, terowongan, stasiun, dan lain-lain di jalur mati tersebut yang tadinya merupakan aset negara ini, terlantar tidak karuan dan entah jadi apa. Saya tidak tahu apakah PT KAI menjualnya ke pihak lain untuk menambah modal dan pembangunan infrastruktur di jalur yang masih hidup, atau membiarkannya habis dijarah atau dimanfaatkan masyarakat yang tinggal di sepanjang jalur tersebut.

Lintasan rel kereta api yang lebih banyak hanya satu jalur sering menjadi penghambat perjalanan. Saking banyaknya trayek kereta api yang melintas pada jalur yang sama, sebuah kereta api dalam perjalanannya harus banyak menunggu. Apalagi jika ada masalah pada sebuah kereta api atau relnya! Kereta yang anjlok, rel yang rusak karena bencana alam atau pun karena ulah oknum masyarakat yang menjarah sebagian ruas rel untuk dijual sebagai besi tua. Waduh! …Capek deh!
Sekali ada masalah seperti itu, banyak trayek yang mengalami penundaan. Hingga berjam-jam. Sementara perbaikan tidak bisa dilakukan dalam waktu cepat. Tidak heran jika banyak calon penumpang yang mengurungkan niatnya menggunakan kereta api dan beralih pada kendaraan jalan raya.

Bagi kita yang pernah atau bahkan sering menggunakan KA Parahyangan ini, seperti warga Bandung yang bekerja di Jakarta dan setiap akhir minggu pulang ke Bandung, atau mahasiswa yang kuliah di Bandung dan setiap minggu pulang ke Jakarta, pasti akan merasa sedih dengan ditutupnya trayek ini mengingat cukup KA Parahyangan yang bersejarah, membawa kenangan dan karena kereta ini dulunya adalah ikon kereta api Indonesia, dulu banyak sekali penggemarnya. Kita akan diingatkan oleh indahnya pemandangan bumi tempat berhuninya para hyang (parahyangan) sepanjang jalur rel Cikampek – Bandung yang tak akan terlupakan. Serta stasiun-stasiun yang dilewati yang menggambarkan kehebatan arsitektur masa kolonial, juga jembatan-jembatan baja di atas lembah-lembah sebagai hasil teknologi sipil saat itu. Duh, benar-benar mengesankan sekaligus menyayangkan hal ini terjadi !

Kita tidak bisa memprotes atas kebijakan ini, meskipun banyak yang tidak bisa menerima kenyataan ini. Mau bagaimana lagi, namanya bisnis, ya harus bisa mendatangkan keuntungan. Kita memang menyadari, betapa beratnya di masa kini PT KAI membiayai operasionalnya. Sudah harus menyediakan kereta api, dia pun harus menyediakan dan merawat infrastrukturnya berupa jaringan rel kereta api plus stasiun dan lain-lainnya. Berbeda dengan angkutan darat lain, yang pembangunan dan pemeliharaan jalannya ditanggung oleh pemerintah, terlebih adanya jalan tol yang dibangun dengan investasi melibatkan pihak swasta. Moda transportasi kereta api tergilas oleh persaingan masa kini, yang menuntut transportasi murah, massal (agar murah), cepat dan nyaman. Suatu hal yang kurang bisa dipenuhi kereta api, termasuk KA Parahyangan, apalagi dengan adanya jalan tol tadi.

Kebijakan pemerintah yang terlalu memprioritaskan angkutan darat jalan raya, turut membunuh secara pelan-pelan keberadaan angkutan kereta api ini. Besarnya investasi yang harus dikeluarkan untuk pembangunan baru dan perawatan infrastruktur yang yang sudah ada menghambat kemajuan bisnis perkeretaapian di Indonesia. Jalan tol makin banyak, sementara panjang lintasan rel makin sedikit. Bisa dibayangkan, jika jalan tol yang menghubungkan Jakarta – Surabaya sudah terwujud, tidak mustahil habislah moda transportasi kereta api di pulau Jawa ini, jika pemerintah tidak melakukan terobosan segera.

Kereta api yang seharusnya merupakan angkutan massal dan cepat, sudah menjadi nomor ke-sekian dalam pilihan masyarakat yang bepergian antar daerah. Namun, selera masyarakat ini sebenarnya bisa dibentuk jika kebijakan pemerintah bisa mengarahkannya. Ingat, kereta api di masa Lebaran menjadi alat transportasi primadona, karena memang sifatnya yang bisa mengangkut orang dalam jumlah banyak dan tidak terkena kemacetan. Bagaimana menciptakan iklim agar masyarakat memilih kereta api, banyak yang harus dilakukan pemerintah dan juga PT KAI sebagai operator penyelenggara angkutan ini. Menggandeng investor pihak swasta, salah satunya. Memperbaiki dan memperbanyak jaringan lintasan kereta api, mengatur perjalanan kereta api sehingga bisa dijaga ketepatan waktu keberangkatan dan tibanya, menyediakan gerbong yang nyaman, dan lain-lain. Yang lebih penting lagi, memperbaiki pelayanan dan sikap para pegawai PT KAI di lapangan yang kurang profesional, memberantas korupsi, pungli dan segala penyimpangan yang mengakibatkan kebocoran keuangan perusahaan.

Mau kereta api kita seperti di Jepang atau Eropa? Yang trayek dan lintasannya amat banyak, perjalanannya cepat, selalu nyaman meskipun jam-jam tertentu padat penumpang, dan relatif murah. Tentunya kita, terutama penduduk kota besar sangat mau, mau, dan mau.

Kapan ya Indonesia bisa seperti itu? Entah kapan, kita baru bisa mimpi.
Air mata tangis untuk KA Parahyangan saja baru mengering.

Salam,

http://harihari-ceppi.blogspot.com
http://ceppi-prihadi.blogspot.com