Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Powered by Blogger

June 19, 2009

Jalan Cepat Lebih Baik


(Sumber gambar: free-images.co.uk)


Judul tulisan ini tidak ada hubungannya dengan jalan bebas hambatan atau pun dengan slogan kampanye ”Lebih Cepat Lebih Baik” punya pasangan capres-cawapres JK-Win, meskipun secara semangat sejalan. Jalan cepat di sini dimaksudkan bagi kecepatan kita melangkahkan kedua kaki dalam berjalan sehari-hari, baik di perjalanan, di lingkungan tempat kerja, di lingkungan sekolah/kampus, di lingkungan tempat tinggal atau di mana pun kita berada.

Seberapa cepat jalan kaki anda? Coba bandingkan dengan orang lain pada saat anda berjalan kaki di keramaian! Apakah anda termasuk pejalan kaki cepat? Ataukah kecepatan jalan kaki anda termasuk yang biasa-biasa saja? Atau anda tipe pejalan kaki santai mungkin? Dengan prinsip, kalau bisa santai kenapa harus cepat-cepat?
Saya pernah, di dalam sebuah perusahaan PMA di daerah Cikarang Bekasi, melihat rambu (bukan rambu lalu lintas, karena letaknya bukan di jalan raya) unik yang terpampang di beberapa titik di koridor gedung perusahaan, bergambar kura-kura dicoret.
Gambar kura-kura dicoret? Tentu saja itu artinya bukan kura-kura dilarang melewati koridor itu atau masuk ke lingkungan kerja perusahaan tersebut (memangnya ada? ..he..he..he..). Rambu itu berarti ”dilarang berjalan lambat di sepanjang koridor”. (Waduh, berjalan saja tidak boleh lambat!) Memang benar, rambu itu dipasang karena perusahaan bermaksud memotivasi dan mengarahkan karyawannya untuk selalu memelihara sikap termasuk dalam berjalan di dalam lingkungan perusahaan. Berjalan lambat cerminan dari kemalasan, selain juga menghambat perjalanan orang lain yang menggunakan koridor yang tidak begitu lebar itu.

Di tempat kerja saya sebelum yang sekarang pun, yang juga sebuah perusahaan manufaktur PMA, jalan cepat ini dijadikan indikator semangat kerja karyawan. Karyawan, selama berada di lingkungan tempat kerja, diinstruksikan dalam berjalan selalu berjalan cepat. Bahkan direktur saya saat itu, seorang ekspatriat, selalu menegur jika memergoki ada karyawan yang terlihat berjalan lambat. Menurutnya, berjalan harus cepat! Jalan tidak bisa cepat, lebih baik tidak usah bekerja. Jika tidak punya semangat kerja, sana keluar saja! Begitu kira-kira ekstrimnya pemikiran beliau. Cepat…cepat! Jangan lambat!
Mungkin bagi sebagian dari kita, pemikiran ini terlalu berlebihan. Namun kita bisa mengambil pelajaran dari prinsip direktur saya itu, bahwa berjalan cepat menggambarkan semangat yang tinggi dalam bekerja. Berjalan cepat adalah sebuah awal dari produktivitas! Berjalan cepat juga menghemat waktu, sebagai bagian dari efisiensi dalam bekerja.

Saya memahami prinsip yang dipegang oleh beliau, sebagai manusia yang berasal dari negara maju, yang etos kerja warganya sangat tinggi. Di negaranya berjalan cepat sudah menjadi kebiasaan orang-orang. Pengalaman saya pun sewaktu sempat berkunjung ke sana, memang bisa membuktikan bahwa prinsip itu sangat diterapkan. Di sana pada pagi hari, semua orang berangkat ke tempat aktivitas masing-masing dengan bergegas, bahkan banyak yang terlihat tergopoh-gopoh. Tidak ada satu pun orang yang berjalan santai. Kita pun orang Indonesia yang biasa berjalan ala orang Indonesia, mau tidak mau terpacu untuk mengiringi derap langkah mereka. Dari stasiun kereta api ke arah kantor saya atau pun sebaliknya, melalui lorong-lorong gedung, semua bergerak cepat. Bergerak lambat, pasti menghambat. Bagaikan berkejar-kejaran!

Di eskalator pun, berlaku aturan tidak tertulis, bahwa orang yang diam di sebelah kiri, sementara sebelah kanannya dikosongkan untuk orang yang tetap berjalan. Di sana memang dengan menggunakan tangga berjalan pun, banyak orang yang masih ingin berjalan. Supaya lebih cepat naik atau turunnya! Hampir tidak ada orang yang berdiri santai, tanpa merasa bersalah, di tengah-tengah (terlebih dengan kedua tangan berpegangan di kiri-kanan pegangan tangga) apalagi di sebelah kanan. Juga tidak ada yang berdiri berdampingan berdua kiri kanan, yang menutup jalan bagi orang yang di belakangnya untuk lewat. Itu kondisi di eskalator, yang sebenarnya kalau kita diam tidak berjalan juga pasti sampai ke atas atau pun ke bawah!

Sementara di masyarakat kita, terasa sangat kontras. Di kota-kota besar seperti misalnya Jakarta, memang tempo irama kehidupannya lebih tinggi dibandingkan dengan kota-kota kecil atau pun daerah pedesaan. Banyak orang mengejar dan dikejar waktu. Tapi kalau kita perhatikan secara seksama, masih lebih banyak orang yang terlihat tidak bersemangat dalam menjalankan aktivitasnya. Dilihat dari kecepatan jalan kaki orang-orang kita di jalan, kita bisa menilai seberapa besar etos kerja orang Indonesia. Kita bisa melihat masih banyak yang berjalan perlahan-lahan dengan santainya, dengan langkah gontai, apalagi sambil bercakap-cakap atau berleha-leha, lambat seperti sedang mengukur jalan. (Bagaikan kura-kura! Seperti digambarkan pada rambu di perusahaan tadi, ..he..he..he..)
Jalan dengan santai, sambil banyak mengobrol, sangat klop dengan budaya jam karet kita.

Apakah indikator jalan cepat yang menunjukkan semangat kerja ini bisa diterapkan di negara kita? Seharusnya sih bisa. Tidak perlulah jalan secepat orang-orang di negara maju sana, namun biasakanlah berjalan cepat menurut ukuran masyarakat kita dan jangan sekali-sekali membiarkan diri kita bermalas-malasan berjalan seperti tidak ada motivasi. Mau negara kita maju, tanamkan dalam diri kita masing-masing semangat dan motivasi! Semangat dan motivasi tinggi, berjalan kaki pun cepat, lalu efisiensi dan produktivitas pun akan diperoleh. Bangsa Indonesia tidak boleh kalah dengan bangsa lain!

Jika anda berjalan kaki sering disalip orang lain, sudah waktunya ada mempercepat langkah-langkah kaki anda. Kalau ada keterbatasan, apakah anda sedang sakit, sedang hamil, atau bagi anda yang lansia, itu bisa dimaklumi. Tapi jika anda masih muda, masih segar bugar, tidak ada alasan untuk tidak berjalan kaki cepat. Jangan mau cepat cuma kalau anda sedang mengendarai mobil atau sepeda motor saja. Itu ugal-ugalan namanya!

Ayo, semangat! Mulailah dengan mempercepat jalan kaki anda.
Atau anda mau seperti kura-kura?

(CP, Jun 2009)

June 15, 2009

Bukan Kidal, Mouse di Tangan Kiri?

Berapa jamkah anda bekerja di depan komputer setiap harinya? Ada sekitar 5 jam? Atau malah lebih dari 5 jam? Atau bahkan mungkin lebih dari 8 jam sehari?
Bagaimana anda rasakan tangan anda selama atau setelah selesai bekerja (saya tidak bertanya kondisi punggung, leher ataupun pinggang) ? Terutama tangan kanan?
Saya yakin ada di antara anda yang merasakan tangan kanannya pegal setelah bekerja! Lebih pegal daripada tangan kirinya. Beberapa orang, bahkan, merasa sakit di satu titik di pangkal telapak tangan, dekat pergelangan tangan kanannya.

Saya juga pernah mengalami bekerja lebih dari 10 jam di depan komputer setiap hari. Dengan beban kerja sepanjang waktu itu, kedua bahu dan kedua pergelangan tangan terasa pegal, apalagi pada tangan kanan di mana penggunaan mouse sangat intensif, yang setiap saat menggeser-geser mouse dengan menggerakkan jari-jari akan tetapi pergelangan tangan tetap diam di tempat.
Bahkan di dekat pergelangan tangan kanan, saya merasakan rasa sakit yang amat sangat. Ada bagian yang menjadi keras di situ, yang dibilang orang “kapalan” (bukan kepalan dan juga bukan berarti berkapal…;) )

Sejak dipopulerkannya sistem GUI pada komputer oleh Oom Steve Jobs dengan Macintosh-nya di pertengahan dekade 80-an, orang menjadi senang dan merasa lebih nyaman menggunakan mouse dibandingkan keyboard. Tinggal geser sedikit, klik, orang sudah bisa memerintahkan komputer melakukan sesuatu. Tidak seperti sebelumnya, di mana orang selalu harus mengetik dan menekan tombol panah. Akan tetapi adanya mouse ini membuat orang cenderung menjadi malas.

Saya perhatikan, memang banyak orang yang kurang efisien menggunakan kedua tangannya pada saat bekerja di depan komputer. Tangan kanannya asyik mengklak-klik mouse, sementara tangan kirinya lebih banyak menganggurnya. Bahkan ada yang dipakai untuk bertopang dagu. Yang lebih parahnya, tangan kirinya dipakai untuk melakukan bersih-bersih…(tahu kan maksud saya, he..he..he..)
Bagaimana dengan anda?

Karena merasakan pegal dan sakit, yang berakibat menurunkan kecepatan kerja, saya mencoba untuk memindahkan posisi mouse ke tangan kiri. Apa bisa meskipun saya bukan kidal? Pasti susahlah. Menulis pakai tangan kiri bagi orang non kidal hampir tidak mungkin. Tapi apakah itu berlaku juga untuk penggunaan mouse?

Pertanyaan itu harus dijawab dengan memaksakan diri kita. Dipaksa sekian lama sekian bulan, dengan resiko pekerjaan kita lebih lambat karena masih kaku dan sering sarah sasaran klik. Beberapa lama sesudahnya, akhirnya saya mulai terbiasa menggunakan mouse dengan tangan kiri. Kecepatan dan akurasi penggunaan mouse dengan tangan kiri saya sudah tidak kalah dibandingkan tangan kanan. Saking lebih banyak menggunakan tangan kiri, saya agak kaku dan kurang nyaman menggunakan tangan kanan. Sekarang saya buat kondisi, di tempat kerja saya menggunakan tangan kiri, sementara di rumah saya menggunakan tangan kanan.

Awalnya, saya mengubah setting di Control Panel-nya Windows, untuk membalik status klik. Klik kiri yang biasanya dilakukan jari telunjuk kanan, dipindah menjadi jari telunjuk kiri. Dan klik kanan yang biasanya oleh jari tengah kanan, pindah ke jari tengah kiri. Settingan pemakai kidal memang!
Tapi karena kadang-kadang ada beberapa teman yang kebetulan pinjam komputer saya, menjadi bingung dengan setting-an baru tersebut. Mereka pindahkan mouse-nya ke sebelah kanan, dan mengklik seperti biasa. Bisa ditebak, jadinya kacau. Dan mereka komplain, meminta saya supaya tidak aneh-aneh. Ha..ha..ha..Memangnya aneh ya?

Akhirnya saya mengubah kebiasaan klik saja. Jadi klik kiri tetap “klik kiri” dan “klik kanan” tetap klik kanan, gantinya jari tengah tangan kiri saya yang melakukan tugas “klik kiri” dan jari telunjuk yang bertugas “klik kanan”. Sama juga dengan sewaktu perubahan dari tangan kanan ke tangan kiri, awalnya kaku dan pekerjaan pun menjadi lebih lambat.Perlahan-lahan terbiasa dan menjadi layaknya normal seperti ketika saya menggunakan tangan kanan.
Jadi kalau ada teman yang meminjam lagi komputer saya, tinggal memindahkan posisi mouse dan padnya ke sebelah kanan, tidak perlu lagi mengubah setting-an mouse di control panel.



Tangan kidal? Sama sekali bukan!
















Katanya, dengan mengaktifkan tangan kiri kita, otak kanan pun turut bekerja untuk mengontrol pergerakan tangan, sehingga lebih seimbang. Penggunaan tangan kiri yang cukup intensif juga katanya akan merangsang lebih kreativitas berpikir, intuisi, rasa seni dan kecerdasan spiritual, bahkan kecerdasan seksual (Nah, hebat kan! Terutama yang paling akhir, he..he..he..)
Terlepas dari kebenaran pendapat itu, buat saya sendiri kelebihan dari penggunaan mouse dengan tangan kiri itu, saya merasa menjadi lebih nyaman, dan karena beban tangan saya tidak melulu di tangan kanan, rasa sakit di dekat pergelangan tangan pun hilang. Dan saya merasa lebih produktif, karena kedua tangan menjadi aktif bekerja. Bagi kita yang sering memakai program spreadsheet yang kita lebih banyak bekerja dengan numerik. Mouse di tangan kiri, numpad di tangan kanan! Ideal bukan?

Anda mau coba seperti saya?

(CP, Jun 2009)



June 12, 2009

"Pasca" Apa "Paska"?

Pernah membaca istilah "pasca"? Di koran, majalah atau tabloid?
Pasti sering. Dan yang paling sering ditemui pasti dari istilah "pascabayar".

Apa sih artinya "pasca" ini?
Ah, ini juga pasti banyak yang tahu. Benar, "pasca" adalah padanan dari kata dalam bahasa inggris "post" yang berarti "sesudah". Jadi kalau dalam bahasa Indonesia-nya "pascabayar" maka itu adalah berasal dari istilah bahasa Inggris "postpaid". Sebagai catatan, istilah "pascabayar" ini ditulis harus disambung (sesuai EYD) dan tidak pakai spasi. Arti istilah itu adalah "bayar sesudahnya" (untuk jasa telekomunikasi selular, membayar sesudah memakai).

Sekarang, dari mana istilah "pasca" ini dan bagaimana cara melafalkannya?Ini dia, banyak orang menyangka kata ini berasal dari bahasa Inggris, atau bahasa Latin, atau bahasa Eropa lainnya. Karena sangkaan ini (atau mungkin hanya karena ikut-ikutan), banyak orang mengucapkan "pasca" ini dengan ala Eropa, "c" dibaca "k". Jadilah "pasca" ini diucapkan dengan lafal "paska".

Termasuk anda mungkin yang mengucapkan seperti itu?

Tenang, anda tidak perlu malu ataupun berkecil hati. Televisi berita sekelas MetroTV pun, penyiarnya sering mengucapkan "pasca" ini secara salah.
Telkomsel, perusahaan telekomunikasi selular terbesar di Indonesia pun, di website-nya, masih mencantumkan istilah "paskabayar" (ditulis dengan huruf
"k") yang sebenarnya jelas-jelas salah sama sekali.

Artinya, kesalahan ini sudah umum, dan hampir semua kalangan melakukan kesalahan pengucapan maupun penulisan istilah ini.

Padahal, istilah ini berasal dari bahasa Indonesia asli, meskipun ada sebagian ahli bahasa yang mengatakan berasal dari bahasa Sansekerta dan juga berasal dari bahasa Jawa Kuno. Karena dari bahasa Indonesia asli, yang secara aturan umum apa yang ditulis itulah yang dibaca (bahasa Indonesia memang seperti itu), maka pengucapan "pasca" yang benar adalah "pasca" dengan "c" dibaca "c" seperti dalam kata "cari" atau "cantik".
Bukan dibaca "k" atau "s"! (Di dalam bahasa Inggris, "c" dibaca "k" seperti pada kata "cabinet" atau dibaca "s" seperti pada kata "cinema")

Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI), Yus Badudu (Kenal beliau kan? Yang sering tampil di acara Pembinaan Bahasa Indonesia di layar TVRI. Dulu!) menuliskan peringatan "(awas: bukan paska)". Beliau pada saat memperkenalkan pertama kali kata ini ke masyarakat sudah memperhitungkan kemungkinan kesalahan yang akan terjadi. Dan memang terjadi. Sampai sekarang! Apalagi tidak ada lagi acara Pembinaan tersebut di layar TVRI sekarang. Apalagi layar televisi swasta!

Jadi, yang selama ini sering kita ucapkan "paska" dalam istilah "pascabayar" dan yang sering kita tulis dengan "paskabayar" adalah sama sekali salah.

Pertanyaan berikutnya, apakah kita akan meneruskan kesalahan ini kepada teman atau anak cucu kita karena sudah terlanjur salah (dan sulit untuk mengubah kebiasaan itu)?
Atau mulai sekarang kita perbaiki kesalahan ini sehingga orang lain di sekitar kita yang juga salah menjadi benar dan yang belum tahu menjadi tahu juga?

Jawabnya terserah Anda.

Kalau buat saya sih, "c" ya "c". Kalau "c" jadi "k", wah nanti muncul
istilah baru di masyarakat: "kekurut", "kekunguk", "kape deh!" dan lain-lain.
Eh, nanti juga ada penulisan istilah "cutucupret". Karena berharap "c"-nya dibaca menjadi "k".
Nah lo! Berabe dah!

(CP, Jun 2009/Jun 2008)

June 5, 2009

Siapkah Kita Berperang?

Pertanyaan ini patut ditujukan kepada kita semua, baik pemerintah dan parlemen, pimpinan dan seluruh jajaran militer, serta seluruh rakyat Indonesia, khususnya pada saat situasi sekarang yang sedang panas-panasnya dengan sering adanya pelanggaran wilayah dan hak kedaulatan Indonesia di Blok Ambalat, perairan provinsi Kalimantan Timur oleh pihak negara tetangga Malaysia.
Di tengah situasi kita yang sedang bersiap-siap menyelenggarakan pemilu pilpres, pertanyaan saya di atas bukan mengajak kita untuk benar-benar siap-siap untuk berperang. Tetapi hanya mengingatkan bahwa adalah satu hal yang mutlak bahwa negara dan bangsa kita harus kuat secara ekonomi, secara sosial budaya, secara diplomasi internasional, dan juga kuat secara militer.

Khususnya yang terakhir ini, sejak era reformasi, kekuatan militer kita terlihat jelas semakin melemah. Persenjataan dan alat-alat perang yang dimiliki militer kita sudah banyak ketinggalan zaman, sudah sangat uzur dan sudah tidak layak pakai, dan ini menjadi salah satu kendala kita memiliki militer yang kuat. Anggaran belanja militer yang sangat kecil, menjadi batasan bagi Departemen Pertahanan kita untuk memperbaharui peralatan dan persenjataan perang kita.

Sejak era reformasi pula, dari tahun ke tahun rasa nasionalisme kita semakin luntur. Kebanggaan berbangsa dan bernegara Indonesia sudah semakin berkurang. Ini terlihat kasat mata di kalangan muda kita, anak-anak sekolah, para pemuda dan mahasiswa (kemarin ada tawuran antar mahasiswa di Salemba), dan termasuk juga para politisi yang sekarang tengah sibuk mencari kursi masing-masing. Tidak ada lagi rasa nasionalisme dan sishankamrata yang dulu sempat dibangga-banggakan itu.

Sebagian di antara kita menuntut pemerintah, khususnya kepada Presiden, agar mengumumkan perang terhadap Malaysia. Slogan “Ganyang Malaysia” (Malaysia yang sering diplesetkan menjadi “Malingsia”) sekarang kembali sering diperdengarkan sejak dipopulerkan dulu oleh Bung Karno sewaktu memberlakukan Perang Dwikora, di era tahun 60-an. Tapi pertanyaan mendasar adalah, apakah kita siap dan mampu untuk berperang sekarang ini?

Memang kita harus mendahulukan penyelesaian secara diplomasi, penyelesaian bipartit secara secara damai karena Malaysia adalah saudara serumpun kita, dan terakhir lewat Mahkamah Internasional. Tapi kita juga tidak boleh melupakan fakta, bahwa mereka berani berbuat seperti itu (di samping tindakan-tindakan lain yang menyinggung harga diri bangsa kita) karena mereka melihat kita lemah baik pemerintah maupun militernya, rakyat kita gampang terpecah dan banyak yang lebih memikirkan kepentingan perut dan jabatan masing-masing.
Jadi kita harus jawab keberanian pihak Malaysia itu dengan bukti, bahwa bangsa kita masih bersatu, masih kuat dan masih punya rasa nasionalisme yang tinggi. Mari kita bangun ekonomi kita, berantas korupsi, perteguh ketahanan sosial budaya kita, bangkitkan kembali rasa persatuan dan kesatuan Indonesia, kuatkan diplomasi internasional kita serta ciptakan kekuatan militer yang efektif dan efisien didukung oleh kekuatan rakyat semesta.

Jangan sampai ada lagi sejengkal pun tanah kita yang lepas dari tangan Ibu Pertiwi. Cukup sudah Pulau Sipadan dan Ligitan saja!

Bangkitlah Bangsaku, Jagalah Keutuhan Wilayah Kita!
Si Vis Pacem Para Bellum

(CP, Jun 2009)

June 4, 2009

Achilles, Bagian Tubuh atau Tokoh Perang Troya?

Pernah nonton film Holywood yang berjudul"Troy"? Baik nonton di bioskop, nonton lewat DVD/VCD, ataupun di layar stasiun TV swasta yang pernah beberapa kali memutarnya.

Siapakah pemeran dari tokoh Achilles di film itu?
Pasti anda tahu dan kenal! ...Brad Pitt! Yaa, siapa tidak kenal dengan Brad Pitt ini! Apalagi Ibu-ibu dan para wanita, pasti mengenal bahkan banyak yang menyukai sosok Brad Pitt ini, bintang film Holywood yang pernah dinobatkan suatu majalah hiburan sebagai salah satu pria terseksi di dunia.
Saya tidak bermaksud membahas bagaimana isi cerita film itu, atau bagaimana kualitas akting si Brad Pitt itu dalam memerankan tokoh Achilles. Saya hanya hendak bertanya, bagaimana si Brad Pitt, eh...Achiless, gugur di penghujung akhir film itu?

Mungkin anda tidak memperhatikan ya?
Atau anda memperhatikan? Karena terkena panah kan?
Selanjutnya, bagian tubuhnya yang mana yang tertancap anak panah yang menyebabkan kematian dia itu?
Kalau di film itu, memang tergambarkan ada beberapa anak panah yang menancap di tubuhnya. Tapi terdapat satu anak panah yang lain dari yang lain, yang merupakan anak panah yang pertama tertancap di tubuh Achilles dan hingga ajalnya tiba, anak panah itu tetap tertancap sementara anak panah lainnya sudah lepas. Di manakah itu?
Betul. Di bagian kakinya!
Terus, apa istimewanya atau menariknya dari anak panah yang menyebabkan kematian Achilles itu? Nah, itu yang mau saya ulas.
Sewaktu pertama kali nonton film itu, begitu saya melihat Achilles terkena panah di bagian kakinya, pikiran saya langsung melayang ke waktu dulu, pada saat saya duduk di bangku kelas 2 SMP. Sudah lama sekali!
Sewaktu sekolah di SMP dulu, guru biologi saya bernama Ibu Rukmara. Orangnya berbadan gemuk, namun yang membuat saya sangat terkesan adalah cara beliau mengajar. Beliau mengajar selalu dengan penuh semangat, suaranya sangat nyaring terdengar dan gaya bicaranya meledak-ledak, sehingga banyak isi omongannya yang sampai sekarang saya masih ingat. Salah satunya adalah mengenai Achilles ini. Lho, apa hubungannya pelajaran biologi-nya Ibu Rukmara ini dengan Achilles ini?

Itulah, suatu saat Ibu Rukmara menerangkan tentang anatomi, dan membahas tentang otot dan tulang. Beliau menjelaskan, antara tulang dan otot itu ada penyambungnya, yang disebut tendon, berupa jaringan sejenis urat.
Nah, tendon yang terbesar dan terkuat di dalam tubuh kita adalah Tendon Achilles. Lho, kok sama dengan tokoh Perang Troya tadi?
Betul, saat itu beliau menjelaskan, adah hubungan erat antara besar dan kuatnya tendon ini dengan tokoh Perang Troya yang bernama Achilles, yang juga besar dan kuat. Hanya itu.
Di mana letak tendon achilles ini? Dia ada di kaki kita, antara betis dan tumit kita. Coba kita pegang kaki kita, tepat di sebelah atas tumit kita. Ada sejenis urat kan? Nah, itulah achilles, tendon achilles.
Achilles, yang merupakan otot terbesar dan terkuat ini memang dikaitkan dengan sejarah/mitologi Yunani, di mana ada seorang tokoh prajurit yang sangat hebat bernama Achilles. Orangnya bertubuh tinggi besar dan sangat kuat. Sangat mahir bertempur dan bertanding dengan lawan-lawannya. Sukar sekali untuk dikalahkan. Sewaktu kejadian perang Troya itu, saking sulitnya untuk dirobohkan, musuhnya memanfaatkan kelemahan Achilles, dengan mengarahkan anak panah ke bagian tubuh Achilles yang tidak terlindungi, kaki itulah. Anak panah yang diluncurkan tepat mengenai kaki bagian belakang dekat tumitnya, persisnya di tendon itulah.
Akhirnya gugurlah Achilles, prajurit hebat yang seumur hidupnya bertarung tidak pernah terkalahkan. Terkena anak panah di kakinya, yang mengakibatkan kematiannya.
Pada saat menonton film itu, langsung saya mendapatkan jawaban atas cerita Ibu Rukmara dulu. Tendon itu dinamai Achilles, karena merupakan tendon di tubuh kita yang terbesar dan terkuat sesuai dengan fisik Achilles, juga tendon itu terkait dengan bagian tubuh Achilles yang menjadi penyebab kematiannya.



Tendon Achilles (sumber gambar: www.sprintic.com)


















Brad Pitt sebagai Achilles (sumber gambar: www.solarnavigator.net)
















Hingga sekarang, kita mengenal Achilles sebagai nama salah satu tokoh perang Troya, dan juga merupakan nama salah satu bagian tubuh kita, tendon antara tumit dan betis.

Kali kalau Ibu-ibu dan para wanita lebih suka tendon itu dinamai "Brad Pitt", ya!
He..he.he
(CP, Apri 2009/Mei 2008)


PS: Terima kasih kepada Ibu Rukmara!

June 3, 2009

Kuku Bima (Jempol Bag. 2)

Nonton pertandingan tinju antara Chris John dengan petinju Jepang Hiroyuki Enoki pada bulan Oktober tahun lalu? Siapa pemenangnya?

Ya Chris John lah, masak Mulan Jameela.

Kenapa dia yang menang?
Karena ...karena Chris John rajin minum Kuku Bima EnerG!

Sorry, saya cuma bercanda.
Minum Kuku Bima EnerG mungkin memang bikin kuat (saya sendiri belum pernah minum), seperti yang diiklankan . Cuma saya punya pertanyaan:

Kenapa kuku bima dijadikan simbol kekuatan pria? Sampai ada plesetan kukubima = kurang kuat bini marah. (kalau minum kukubima, emang bini nggak marah lagi ya?)

Apakah karena kuku bima hitam, kuat dan panjang serta tajam? Atau karena kuku itu tumbuhnya di jempol (jempol lagi!)? Atau kah karena memang figur ksatria Bima yang gagah perkasa dan kuat tak terkalahkan?

Jawabannya di atas mungkin semuanya benar. Bima memang seorang tokoh wayang yang terkenal gagah perkasa, bertubuh tinggi besar dan kuat. Dia adalah ayah dari Gatotkaca yang supersakti, yang pasti lebih kita kenal. Dan anggota nomor dua dari kelima bersaudara Pandawa ini memang memiliki senjata andalan kuku, yang disebut Kuku Pancanaka, selain andalan lain yang berupa gada.

Alkisah, kuku yang menjadi senjatanya itu asalnya dari gading gajah. Bima dilahirkan dalam kondisi terbungkus suatu selaput yg sangat amat kuat. Tidak ada orang dan alat yg bisa membuka lapisan itu. Jadinya, dari bayi hingga kanak2 dia hanya bisa berguling-guling. Sampai akhirnya ada seekor gajah dari kahyangan berhasil merobek dan membuka bungkus lapisan itu dengan gadingnya. Dan gadingnya itu pula, menjadi
bagian tubuh Bima, menjadi kuku dari kedua jempol tangan Bima. Kuku yang amat kuat dan tajam, yang di kemudian hari menjadi senjata andalan Bima.


Bima dan Kukunya (sumber gambar: 3.bp.blogspot.com)










Jadi apa hubungan kukunya si Bima dengan kekuatan pria?

Kukunya kuat, memang benar. Tapi menurut saya, sebenarnya...karena kukunya tumbuh di jempol!

Pada posting terdahulu saya bercerita bagaimana istimewanya jari jempol kita. Nah, jempolnya Bima ini juga istimewa. Selain di kedua jempolnya ini tumbuh Kuku
Pancanaka yang menjadi senjata ampuh dalam melawan musuh2nya, si Bima ini juga selalu menaruh kedua jempol tangannya diapit di antara jari tengah dan telunjuk. (Aduh, saya tidak bermaksud porno. Tapi ini memang kenyataan, eh ceritanya memang begitu! Sama dengan genggaman tangan di pangkal meriam si Jagur di halaman Museum Fatahillah Jakarta)
Nah karena itulah, kukunya dijadikan simbol kekuatan. Kekuatan pria. Terus juga dijadikan merk sebuah jamu/minuman yang diklaim oleh produsennya bisa membuat kekuatan pria meningkat. Jadilah jamu/minuman itu bernama Kuku Bima (EnerG).

Bagaimana kalau kuku yang jadi senjatanya Bima itu tumbuhnya bukan di jempol? Tarohlah tumbuhnya di kelingking! He..he..he..saya yakin kukunya itu tidak akan menjadi simbol kekuatan dan pasti tidak akan ada istilah Kuku Bima yang dijadikan merk minuman energi.

Lagian, kalau di kelingking, si Bima jadi lucu. Tangannya nggak bisa mengepal lagi! Nanti disangka mau "pacantel" dong (alias berdamai)!

Minum kuku bima? Anda bisa jadi sekuat gunung berapi!!! (Sorry, bukan iklan. Cuma bercanda!)

CP, Nov 2008

June 1, 2009

Rumah Hijau dan Penghangatan Global?

Pasti banyak yang sudah tahu, tapi ini hanya sekedar intermezzo:


Adakah hubungan antara Rumah Hijau dengan Penghangatan Global?

Ada, tapi istilah yang saya pakai adalah salah. "Rumah Hijau" sebenarnya penerjemahan harfiah dari "green house" atau istilah yang benarnya dalam bahasa Indonesia adalah "rumah kaca". Rumah kaca yang biasa dibangun di area-area tanah pertanian.

Sementara "Penghangatan Global" penerjemahan harfiah dari global warming. Biasanya disebut orang Pemanasan Global. Lucu ya, padahal bahasa Inggris "Warming" padanan di bahasa Indonesia-nya adalah "Penghangatan" (warming = penghangatan, pemanasan = heating). Sepertinya istilah pemanasan dipakai untuk menghindari asosiasi negatif. Biasalah, orang Indonesia kan agak sensitif, he..he..he...

Rumah kaca yang biasa dipakai di dunia pertanian memang berfungsi mengumpulkan hawa panas selain menghindari curah hujan langsung ke tanaman. Panas matahari bisa masuk lewat atap rumah kaca yang terbuat dari kaca atau plastik karena transparansinya, sementara panasnya tidak bisa keluar kembali dari rumah itu, akhirnya temperatur di dalam rumah kaca akan lebih panas daripada temperatur di luar. Efek memerangkap panas inilah yang disebut "efek rumah kaca" (eh, ada grup band yang namanya ini lho!) atau istilah inggris-nya "green house effect".

Untuk lebih bisa memberikan gambaran, coba kita masuk ke dalam mobil yang beberapa saat diparkir di bawah sinar matahari langsung, dijamin kita merasa panas dan gerah bukan main. Saya pernah mengukur, suhu di dalam mobil bisa mencapai 50 bahkan 60 derajat celsius. Padahal suhu udara di luar paling sekitar 35-40 derajat, termasuk di daerah tempat tinggal kita (Cikarang).

Terus, apa hubungannya efek rumah kaca dengan pemanasan global (he..he.he..Sekarang pakai istilah yang benar)? Nah, memang ada, cuma bukan atap kaca yang menyebabkannya, melainkan karbondioksida, metana , sulfur dioksida dan gas-gas lain yang sejenis. Lho, memangnya ada apa dengan cinta? Eh, dengan gas-gas itu?

Karbondioksida dan gas-gas lainnya yang biasa disebut gas-gas rumah kaca itu sifatnya sama dengan atap kaca itulah. Cuma mereka adanya di atmosfir bumi kita. Gas-gas rumah kaca itu umumnya timbul dari hasil pembakaran di alam dan hasil aktivitas manusia sehari-hari seperti dari asal knalpot kendaraan bermotor dan asap dari proses di pabrik-pabrik.
Karbondioksida dan gas-gas lain itu berkumpul di angkasa, menghalangi panas dari sinar matahari untuk kembali ke luar angkasa. Jadi panas sinar matahari bisa masuk menembus atmosfir tapi tidak bisa keluar alias terperangkap di bumi. Akhirnya temperatur bumi makin lama makin panas. Dari tahun ke tahun, dari abad ke abad.



Ilustrasi Efek Rumah Kaca (sumber gambar: www.myclimatechange.net)








Wajarlah kalau sekarang-sekarang ini, memasuki musim kemarau, di daerah kita, hawa udara terasa sangat huaaanaaaass bukan main! Apalagi kalau kita berada di luar rumah atau tempat kerja pas jam-jam 11 sampai jam 2 siang. Aduh, tobaaaat! Puaanasssnya bukan main. Bagaimana dalam 2 – 3 tahun mendatang?

Yang jelas efek rumah kaca bukan efek diakibatkan oleh rumah-rumah atau gedung- gedung yang dinding atau atapnya terbuat dari kaca, seperti di daerah Sudirman-Thamrin Jakarta dan sekitarnya. Melainkan efek dari keberadaan gas-gas tadi itu. Gas-gas hasil dari pembakaran.

Artinya, kita harus mengurangi aktivitas yang menghasilkan gas-gas tersebut. Dan karena tetumbuhan hijau berfungsi mengolah kembali gas-gas itu, terutama karbondioksida, kembali menjadi oksigen, kita juga harus berupaya menghijaukan kembali tanah-tanah sekitar kita yang makin hari makin berkurang pepohonannya. Tanam dan pelihara pohon di pekarangan rumah atau di sekitar lingkungan rumah kita, setiap orang satu pohon, niscaya akan mengurangi kecepatan pertambahan panas yang berlangsung dari tahun ke tahun tadi.

Save The Earth!
(CP, Okt 2008/Jun 2009)